Siang itu mentari cukup mentereng. Aku bersiap pergi bersama sepupuku dengan membonceng sepedanya. Belum sempat ia menggenjot sepedanya, tiba-tiba ayah memanggilku. Aku berbalik badan dan terperangah melihat sesosok perempuan cantik dengan jilbab lebarnya. Aku pun urung pergi dan mempersilakan tamuku masuk ke rumah.
Kak Dewi adalah mentor pertamaku di Rohis (Rohani Islam) sekolah. Saat itu liburan sekolah, aku tidak menyangka seorang Kak Dewi nan jelita dan konon paling berada diantara kakak-kakak Rohis lainnya, bisa terdampar di rumahku yang sangat seadanya ini. Aku gelar tikar untuk Kak Dewi karena di rumahku tidak ada kursi apalagi sofa. Kami bercengkrama beberapa jam dan tentu saja beliau menyelipkan tausiyah di sela-sela obrolan kami.
Mungkin inilah yang membuat Rohis begitu istimewa untukku. Cinta, perhatian, persaudaraan serta kebaikan-kebaikan lainnya yang selalu mereka tebarkan membawaku menjadi bagian dari mereka. Satu hal lagi yang tak kuketahui sebelumnya, bahwa mereka melakukan semua itu ikhlas karena mengharapkan ridho Allah, nothing else.
Kini tiba giliran angkatanku yang menjadi pemakmur organisasi religi ternama seantero sekolah ini, menjadi pejabat Rohis. Tongkat estafet memang harus dan akan selalu dipergilirkan tiap angkatan. Kami yang menjadi ‘pejabat’ Rohis diwajibkan mengikuti pengajian pekanan dalam satu lingkaran. Sebelumnya kami terpisah-pisah, kemudian kami dijadikan satu lingkaran di bawah asuhan alumni. Demikian halnya dengan para ikhwan diasuh oleh seorang murabbi.
Di Rohis ini kami mulai belajar berdakwah, berjama’ah dan bertarbiyah di saat usia kami baru menginjak 16 tahun. Kami menyelenggarakan kegiatan hari besar agama Islam, mulai dari 1 Muharam yang merupakan tahun baru Islam, Maulid Nabi Muhammad SAW, Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW, pesantren kilat Ramadhan, sampai pemotongan dan pembagian hewan kurban yang bekerja sama dengan pihak sekolah tentunya. Aku yang bukan siapa-siapa, bukan apa-apa ini bisa menjadi bagian dari aktivitas baik ini. Alhamdulillah.
Kadang, kami harus berkejar-kejaran dengan waktu, saling berbagi tugas, saling bekerja sama. Kami harus berlari-lari untuk sekedar meminta tanda tangan guru agama, Wakil Kepsek bidang Kesiswaan dan Kepala Sekolah. Ada juga yang sibuk mengetuk pintu tiap kelas dan meminta izin kepada setiap guru yang ada di kelas tersebut untuk mengumumkan acara yang akan kami selenggarakan.
Belum lagi mereka yang sibuk mencari donatur untuk dana acara, menghubungi ustadz, mengundang bintang tamu dan lain-lain. Tiada hari tanpa kesibukan. Alhamdulillah. Hari-hari lain jika tidak ada kegiatan hari besar Islam, kami pun tetap sibuk. Sibuk rapat, sibuk mengatur jadwal Rohis adik kelas dan kesibukan lainnya yang semua kami lakukan secara berjama’ah.
Padahal sebelumnya aku tidak pernah ikut organisasi, tidak pernah terpilih menjadi panitia, pengurus atau apapun namanya, tapi kini aku menjadi salah satu ‘pejabat’ Rohis. Tidak ada yang menggaji, tidak ada satu guru pun yang mengacungkan jempol atau memberi selamat pada kami, kecuali guru agama yang selalu membesarkan hati kami.
Pun saat satu per satu kawan kami pergi meninggalkan ‘jabatan’ Rohis-nya, masih ada segelintir orang yang mempertahankan perjuangan ini. Tidak ada rasa sedih ataupun kecewa, malah bersyukur dan bangga bahwa kami adalah penerus dakwah. Insya Allah. []
Penulis : Widiawati
Jakarta
Tulisan ini adalah salah satu peserta
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
Sumber Ilustrasi Foto : rohismantie.blogspot.com
0 komentar:
Post a Comment