Hari itu aku terkejut dengan sebuah berita yang kudengar dari seorang Pembina SMP yang kini masuk SMAku yang dulu.
“si akang Y kenapa ya?”
“Emang kenapa gitu? Setahu saya dia baik-baik saja. Masih suka ke sekolah kan?”
“Itu dia teh. Ada kabar-kabar miring kalo dia teh VMJ ma temen sekampusnya.”
Apa? Temen kampusnya? Sebuah ketakutan menyergap. Bukan apa-apa. Ikhwan itu kuliah di universitas katolik. Hm… mengertikah kenapa aku khawatir? Khawatir dia jadi “tembakan”.
“Hah! Seriusan? Tau dari mana?”
“Idih… kunaon si Teteh teh jadi gituh? Jangan-jangan…”
Lah? Ni anak satu…
“Ngerti sih teh… kata temen-temen L sih si akang Y kan emang “suami idaman”. Fisik OK. Finansial OK. Bisa main piano. Mitosnya… laki-laki yang bisa maen piano itu romantis teh. Sholeh? Bahasa urangna mah militan lah,, dia ngediriin LDK di kampusnya, secara, kampus katolik gituh. Orangnya juga supel dan menyenangkan. Masa depan juga cerah, secara calon dokter. Apa kurangnya?”
ATUHLAH!!!!!
Mendirikan LDK di kampus katolik. Bahkan tidak pernah terpikir olehku, sebagaimana Mi Shil tak pernah berpikir untuk berkuasa penuh di Kerajaan Shilla. (lah, kok jadi ke sini?)
“Bukan gitu! Tadi bilang sendiri kan. Ama temen kampusnya kan…”
Kujelaskan kekhawatiranku diatas.
“Oh… insya Allah sih teh. Ceweknya pake kerudung kok.”
“Pake kerudung? Adiknya kali L…”
Walau pun sebenernya sejauh pengetahuanku, dia anak bungsu. Data-data orang popular seperti dia pasti beredar. Fans-fansnya sering bergosip ria tentang latar belakangnya juga keadaan keluarganya. “Kami” bahkan tau belakangan.
“Kalo nggak salah dia nggak punya adik deh Teh.”
“Adik sepupunya kali L… ”
“Bukan. Jelas2 latarnya kampusnya kok teh.”
“Ya… sapa tahu adik sepupunya itu diajak jalan-jalan ke kampus.”
“Terus , jadi panitia acara baksos kampusnya gituh?”
Baiklah. Temen kampusnya dan pake kerudung.
Tunggu? Pake kerudung?
“Temen kampusnya? Pake kerudung? Panitia acara? Aku jadi nggak ngerti.”
“Jadi… di FBna si akang itu teh. Banyak fotona si akang itu yang di masukin ma si cewek itu.”
“Dia seksi dokumentasi kali.”
“Masalahnya foto-foto yang diuploadnya tuh bukan foto-foto acara aja. Tapi juga foto-fotona keluargana si akang itu. Dari komen2nya itu kita bisa tau deh kalo su cewek itu bukan sodarana Kang Y. Udah gitu, dari komen2nya itu juga membuat kita berpikir kalo si cewek itu udah dikenalin ma orang tuana.”
Baiklah argumentasinya lengkap… tapi… memakai kerudung di universitas katolik. WAW! sungguh menggelitik jiwa ghirahku.(intermezzo,, maaf nggak penting.)
Di satu sisi… argumentasinya dapat diterima logika. Di sisi lain… aku tidak mau percaya ini. Aku harus melihatnya sendiri.
Sepulangnya dari sana. Aku langsung membuka FB. Dan aku terkejut bukan main. Aku tak mau percaya, namun bagaimanapun ini sebuah kenyataan. Kesimpulan mereka tentang cewek itu sudah dikenalkan pada ortuna Y, bukan mengada-ada. Aku mengerti alunan logika yang mengiringnya.
Aku tak mau percaya ini. Tapi… logikaku bilang ini masuk akal. Argh!!!
YMnya S nyala. Dia adalah teman satu aktivitas dari Y dan juga sekaligus teman dekatku.
Aku : S, aku kok denger kabar nggak enak tentang Y ya.
S : Kenapa gituh?
Aku : Loh? Kamu nggak tau?
S : Nggak.
Aku : Aku tau dari anak SMA loh…
S : Serius. Aku nggak tau.
Aku pun bercerita seperti apa yang diceritakan L padaku.
Aku : dan aku udah ngeliat FBna. Dan aku ngerti kenapa “mereka” bisa menyimpulkan kayak gitu.
S : Aku pinjem akun FB kamu. Aku mau lihat langsung.
Beginilah ukhuwah. Ketika seorang saudara sudah dengan bebas mengakses kantong saudaranya sendiri. Seperti ketika Abu Bakar berkata, “Umar adalah khalifah kapanpun dia mau.”. Tentu saja hal ini juga diiringi ketahudirian dari saudaranya itu sendiri.
Beberapa hari kemudian, aku bertemu langsung dengan S.
“Gimana S?”
“Penjelasan dari dia adalah dia udah nggak buka FB sebulan terakhir ini. Hm… bagi temen-temennya mungkin itu cuman lucu-lucuan. Mereka tidak menyangka kalau efeknya bakal sebesar ini. Bikin heboh sekolah.”
“Tapi…”
“Jangan ada tapi lagi. Bagaimana pun dia masih megang binaan. Dia udah ngasih penjelasan. Apa ada hak kita untuk masih suudzon ama dia? Aku nggak mau suudzon lagi ama dia. Dia udah jatuh, akankah kita timpakan palu di kepalanya dengan suudzon ama dia? Bagaimana pun dia saudara seperjuanganku. Barisan ini sudah sedemikian rapuh. Perlukah kita lebih merapuhkannya lagi dengan suudzon? Kamu juga pasti tahu. Dia mendirikan LDK di kampusnya yang jelas-jelas Katolik. Aku belum tentu sekuat itu kalo jadi dia.”
Untuk kesekian kalinya, sahabatku ini mengunci pikiran liarku. Membuatku merenung.
“Hm… ketika kau melihat saudaramu berbuat hal yang tidak biasa. Carilah 1000 alasan untuknya agar kamu bisa berhusnudzon akan dirinya. Jika alasan itu terbantahkan. Carilah 1000 alasan lagi. Begitu seterusnya.”
“Sepakat. Dan hal yang paling penting setelah itu adalah kita tanyakan langsung padanya. Apa yang sebenernya terjadi. Mungkin yang dikatakannya adalah pembenaran. Tapi… mempercayai itu lebih baik daripada kita harus mengkotori hati kita dengan perasaan suudzon.”
“Dengan menanyakan hal itu saja sudah merupakan cara halus kita untuk mengingatkannya.”
“Sepakat 1000%.”
Beginilah kalau 2 orang melankolis bertemu… hohoho…
Tingkatan ukhuwah terendah dari seorang muslim terhadap muslim lainnya adalah huznudzon, bukan ta’aruf.
Ya, husnudzon adalah hal yang pertama kali harus dilakukan seorang muslim terhadap muslim lainnya. Bahkan sebelum mengenalnya. Jadi… ketika kita masih bersuudzon pada saudara kita.
APAKAH PANTAS KITA MENGAKU BAGIAN DARI BARISAN INI?
(menasehati diri sendiri… melihat fenomena yang ada saat ini… melihat ternyata barisan ini tak seideal yang dibayangkan)
(Kisah ini tidak nyata. Namun, terinspirasi dari kisah nyata. Ceritamah cerpen. Tapi kalo dibilang cerpen nggak juga ya. Jadi bingung…,, ya… gtl pokoknya.)
0 komentar:
Post a Comment