Aku terkesima melihat SMA-ku yang saat itu masih menjadi sekolah favorit di Ngawi. SMA Negeri 2 Ngawi. Sekolah negeri memang, tapi rasanya seperti pondok pesantren modern. Saking terkesimanya, kutanamkan niat dalam hati, meskipun jilbab baru kupakai di awal SMA ini, semoga Allah berkenan menjadikan aku salah satu diantara para mujahidah dakwah di sana.
Dari awal, ibu sudah mewanti–wanti agar aku masuk rohis saja. Mungkin ini alasan yang aneh, ”Biar gak banyak kegiatan dik. Di SMA pasti makin banyak tugasnya”, kata ibuku. Dan aku hanya mengiyakan karena aku juga kurang paham bagaimana kenyataan yang ada nantinya. Sampai di awal Probinsaba (Program Pembinaan Siswa Baru), banyak sekali organisasi yang beradu menampilkan performance terbaiknya. Cukup tiga. Cukup tiga organisasi yang membuatku benar–benar terpikat. Rohis? Sudah pasti. Belum lagi karena ditambah ada satu masjid besar yang tepat berlokasi di tengah–tengah lapangan sekolah kami, pusat kegiatan rohis yang begitu meneduhkan itu, masjid Ash-Sholihin.
Yang kedua, Pramuka. Sebelum aku melaju lebih jauh, aku kirim sms pada bapak apakah aku boleh ikut Pramuka seperti dulu masa SMP. Jawaban bapak sudah bisa ditebak, ‘Iya, asal kamu bisa bagi waktu’. Jadi, terserah padaku sekarang. Aku menemukan satu kejanggalan di Pramuka yang membuatku benar-benar terpikat. Banyak kakak tingkat putri yang mengenakan jilbab lebar. Cantik. Aku suka. Sambil memperhatikan mereka, aku beberapa kali sengaja melewati sanggar Pramuka (markas mereka) agar aku bisa lebih dekat mengerti bagaimana cara mereka berinteraksi. Subhanallah, kutemukan syariat Allah ditegakkan di sini. Maka aku putuskan untuk mendaftar. Perjalanan dakwah tiada penghujung. Kita bukanlah pemula, bukan pula penghujung. Kita hanya penyambung, yang dengannya semoga Allah limpahkan keberkahan di jalan dakwah yang kita lewati kini. Saat itu aku hanya berharap. Berharap bisa menjadi salah satu penyemai kebaikan di ladang Pramuka.
Di akhir Probinsaba yang kami jalani, aku mulai mengenal program M2 (singkatan dari Menuju Mentoring). Di sana kami dibagi menjadi beberapa kelompok dengan jumlah kakak tentor 2 orang dan anggota kurang lebih 12-14 orang. Mengenal lebih jauh lagi segala yang ‘aneh’ di masa SMA dulu, yang kini sering kusebut dengan nama dakwah. Dari program M2 ini kami mulai mengerti program wajib sekolah bagi siswa tahun pertama yaitu Mentoring. Banyak kakak tingkat yang berpartisipasi aktif dalam pengelolaan program ini. Termasuk anak–anak OSIS yang terkenal sibuk di sana–sini.
Partisipasi OSIS di sana-sini yang kian banyak aku tahu itu membuatku tergerak untuk masuk ke dalamnya. Melewati berbagai seleksi tulis, wawancara, LDKS ruang dan lapangan, Aku masuk OSIS. Aku mencoba meluruskan niatku semoga Allah memudahkan langkah ini. Aku hanya ingin tahu saat itu, kekuatan apa yang mereka punya hingga bisa mendouble atau bahkan lebih jumlah organisasi dengan kesibukan yang seabreg. Hingga dapat kurasakan gejolak yang membara saat sebagian dari kami mengingatkan pada sebagian yang lain dalam setiap kali perjumpaan, “Tugas kita disini hanyalah menunjukkan pada Allah ikhtiar terbaik kita untuk menjadi insan yang bermanfaat bagi orang lain”.
Kutumpahkan rasa cintaku pada teman–teman seperjuangan di segala lini. Aku yakin bahwa tonggak dakwah ini adalah ukhuwah. Tonggak dakwah ini adalah ukhuwah. Ukhuwah yang terjalin dari rasa cinta pada Rabb semesta alam ini. Ukhuwah yang terencana. Berusaha memadukan yang tercecer. Berusaha merencanakan impian yang sempat terbetik dalam angan–angan dakwah sekolah ini. Maka selama berada dalam jalan dakwah ini, ia mengajarkan bagaimana agar langkah yang kita ayunkan adalah langkah yang terencana.
Setelah kuikuti sampai habis masa SMA-ku, tiga organisasi besar SMA yang begitu mempesona itu, Allah tunjukkan banyak hikmah di jalan dakwah ini melalui ketiganya. Hingga akhirnya cahaya dari ketiga tempat itu memberikan warna–warni yang nyata bagi sekolah negeri bernuansa islami ini. Jalan dakwah sangatlah luas. Hampir setiap hari berkutat dari satu tempat ke tempat yang lain, kita melewati sekian panjang jalan. Berawal dari program mentoring itu, sekian ratus siswa tersebar ke organisasi–organisasi sekolah. Mewarnai lahan gersang di sana dengan pena dakwah yang mereka bawa. Satu konsep yang terencana seperti kurikulum dalam kehidupan kita. Dengannya kita belajar mengartikan husnudzon dengan begitu nyata. Bahwa Allah tak pernah meninggalkan kita, bahwa Allah akan meneguhkan pendirian orang–orang yang menolong agamaNya, dan bahwa Allah akan mudahkan pertolongan dengan seizinNya. Dan teringat pada nasehat seorang kakak seniorku di tiga organisasi yang sama itu, ia menyampaikan, “Laksana prajurit hendak berperang, Dik. Kita membutuhkan perbekalan yang cukup. Kita perlukan perencanaan yang matang. Tak ada satu mujahid pun yang hendak berperang, menginginkan kematian yang sia-sia. Tanpa pengorbanan yang terbaik. Tanpa ikhtiar yang terbaik”. Begitulah jalan dakwah ini mengajarkan pada kita arti penting dari langkah yang terencana. []
Penulis: Putri Dwi Novitasari
Ngawi, Jawa Timur
Tulisan ini adalah salah satu peserta
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
0 komentar:
Post a Comment