Searching...
Select a Page
Saturday

ikhwan-akhwat

 

                                         Oleh Solihin pada Gaulislam.com
 

Kamu pernah baca buku saya yang judulnya Jomblo’s Diary belum? Belum? Waduh, sayang sekali ya. Padahal buku itu terbit tahun 2010 lalu (hehehe…). Tetapi jangan khawatir, sedikit bocorannya saya tuliskan untuk buletin gaulislam edisi ini. Jujur, saya sendiri merasa tergelitik dengan istilah jomblo. Abisnya, kata jomblo tuh sebenarnya untuk ‘perawan tua’. Eh, sekarang, anak umur 9 tahun aja berani bilang, “gue lagi jomblo!” Waduuuh… Selain itu, alasan menurunkan tulisan ini di buletin karena lebih dari 80 persen pengirim SMS curhat ke gaulislam adalah tentang problem dengan lawan jenis: pacaran, ngadepin mantan, juga kesepian karena belum laku (jomblo). Halah!

Bro en Sis rahimakumullah, nggak usah lama-lama, berikut ini saya kutipkan seperlunya dari beberapa bagian artikel di buku saya tersebut. Kalo pengen lengkap ya beli aja bukunya. Ok? Hehehe.. sekalian numpang promo! Ini nih curhatan para jomblo, tetapi dengan kondisi ingin tetap selamat tanpa pacaran. Met nyimak aja deh nih:

“Gue ngerasa harus realistis. Meski kalo ngomongin soal “kepengen” sih, emang it’s hard to understand kondisi gue kayak sekarang tuh. Tapi akhirnya gue harus terima kenyataan bahwa memang gue jomblo. It’s ok. Gue mencoba untuk melatih hati dan pikiran untuk nerima kondisi seperti ini. Berubah dari sebuah pemahaman yang dulu emang sulit, tapi bukan berarti tak bisa dilakukan. Gue mulai mencoba jujur kepada diri gue sendiri, gue harus terima banyak nasihat, gue juga udah belajar banyak dari temen-temen baru gue. Meski berat menurut ukuran hawa nafsu gue, tapi gue berusaha dan terus berupaya untuk mengubah pandangan gue yang lama dengan pencerahan baru yang gue dapetin. Gue nggak termasuk makhluk yang anti perubahan. Gue harus berubah jika itu yang terbaik menurut gue dan sesuai tuntunan ajaran agama gue. Setidaknya gue setuju dengan pendapat temen-temen baru gue yang udah ngajarin tentang banyak hal seputar jomblo dan juga agama. Gue setuju.

Diary, gue ngerasa harus realistis. Karena memang kenyataannya gue masih jomblo. Gue mungkin akan tetap ngejomblo daripada gue harus ngorbanin kehormatan gue, daripada gue harus ikut-ikutan ancur ngelakuin perbuatan yang dilarang agama. Gue nggak mau main api lagi kalo belum siap segalanya. Gue masih harus banyak belajar dan gue harus fokus untuk belajar. Usia gue masih belia dibanding mas-mas yang udah ngajarin gue tentang hal ini. Gue malu juga, mereka yang udah siap secara biologis dan kesempatan, masih memperhatikan banyak hal, termasuk yang utama ajaran agamanya. Mereka tetap ngejomblo selama belum ada kesempatan, niat, dan sarana yang mendukung untuk menikah. Ingat lho, “menikah”, bukan “pacaran”.

Gue memang harus realistis. Gue terima kenyataan bahwa gue masih ngejomblo. Tapi bukan berarti gue sepi kegiatan. Gue masih keren meski tanpa cewek yang menjadi pacar gue. Status gue masih tetep mulia sebagai seorang manusia yang mencoba untuk bertakwa. Gue bukan sedang menghibur diri, tapi emang gue berusaha untuk berubah. Berubah dari kondisi di mana gue ngerasa dihantui dengan predikat jomblo, menjadi gue merasa enjoy dan terima kenyataan bahwa gue jomblo. Saat ini yang penting bagi gue adalah gue nyadar bahwa apa yang gue lakuin pasti bakalan dimintai pertangunganjawabnya di hadapan Allah Swt. Tuhan gue. Ah, ini memang soal cara pandang dan budaya aja bagi gue. Seperti yang pernah disampaikan sama temen-temen gue yang mahasiswa itu yag tempat kosnya dekat dengan rumah ortu gue.

Diary, dulu gue menilai jadi jomblo itu kutukan karena gue memandang bahwa menjadi pria sejati yang dewasa itu adalah diukur dari bagaimana kedekatan dan prestasi dia dengan lawan jenisnya. Gue dapetin doktrin dari temen-temen gue. Sekarang gue nyadar dan realistis bahwa ternyata ada banyak orang yang berbeda pendapat dalam satu masalah, termasuk memandang persoalan jomblo. Gue yakin dan sadar diri bahwa masih banyak orang yang ngejomblo bukan soal nggak laku di pasaran. Selain mereka menyakini soal jodoh yang dikasih dari Allah Swt., juga karena mereka tidak ingin mengkhianati ketaatannya kepada Dia yang memberi kehidupan kepada mereka. Mereka tidak mau berbuat maksiat hanya demi melepas status jomblo.

Gue tahu mereka hanya sedang bertahan untuk tetap mencintai Allah Swt. Gue tahu mereka hanya sedang bersabar atas ujian dan bersyukur atas semua yang diberikan Allah Swt kepada mereka. Mereka memilih jalan terjal penuh cemooh dan sindiran bahwa mereka nggak laku dan bujang lapuk atau perawan tua. Sesungguhnyalah, mereka adalah orang-orang yang menurut gue sangat unik dan langka di tengah bergeletakannya orang-orang yang memuja hedonisme dan permisifisme (duilee.. gue ngedadak jadi pinter kayak mas-mas mahasiswa ya? Hehehe.. ternyata diem-diem otak gue sebenarnya merekam semua yang gue lihat). Terima kasih ya Allah…

Gue memang harus mulai realistis, memahaminya dan menjadikan pilihan dengan kondisi gue yang lagi jomblo gini. Gue nggak akan merana. Gue akan bangun persepsi dalam pikiran gue sendiri bahwa jomblo itu bukan aib. Jomblo bisa jadi sengsara membawa nikmat. Sengsara? Nikmat? Iya, jadi jomblo bisa dipersepsi sebagai sebuah kesengsaraan karena kalo kita nggak tahan-tahan amat, bakalan stres. Kalo usia udah di atas kepala tiga, khususnya buat yang cewek, kalo ada pertanyaan: “kapan nikah?” Wuih.. gue empati.. dia mungkin sedih meski menutupi kesedihannya dengan senyumnya yang ditebar ke mereka yang bertanya. Kalo yang cowok mungkin nggak terlalu menjadi beban, meski ada juga yang kalo diledekin terus bisa ngebul ubun-ubun dan akhirnya stres juga. Hehehhe.. (ini bukan perasaan gue, gue cuma merasa diwakili aja sama temen gue hahahaha…).

Diary, gue harus, dan memang harus terima kenyataan. Bahwa gue sampai saat ini masih jomblo. Gue udah nggak peduli juga bila lima tahun ke depan gue masih ngejomblo. Gue cuma berpikir: gue harus fokus belajar; gue nggak mau kehormatan gue di hadapan Allah Swt. dinodai dengan kemaksiatan yang gue lakuin kalo sampe gue pacaran gara-gara ogah disebut jomblo; gue akan tetap menjomblo sampai suatu saat gue udah mampu dan gue udah dapetin kesempatan serta gue udah ketemu seseorang yang gue cintai dan (tentu dia mencintai dan sayang sama gue), baru deh mikir-mikir untuk nikah. Saat itu, status jomblo gue lepas tapi menuju status resmi: pernikahan. Hahaha.. kayaknya masih jauh deh. Tapi cita-cita boleh kan? Swit Swiiiw..

Bener banget. Gue juga pengen kayak orang-orang yang hidupnya bener, teratur, dan terarah. Gue sering denger omongan mama gue bahwa hidup ini kudu jadi orang baik-baik, berguna buat diri sendiri, kebanggaan keluarga, disenangi teman-teman, dan keberadaan gue sebagai manusia kudu bermanfaat bagi mereka sehingga mereka merasa kehilangan ketika gue nggak ada. Ah, gue memang kudu banyak belajar dalam hidup ini. Salah satunya, gue nggak mau melepas kejomboloan gue dengan cara yang maksiat. Gue harus sadar diri, bahwa apapun yang gue lakuin dalam hidup ini bakalan dimintai pertanggunganjawabnya oleh Allah Swt. Gue akan berusaha menjadi orang yang baik-baik dan gue pasti bisa. Doain gue ya.

Diary, tadi pagi gue ketemu temen-temen gue yang lama. Masih seperti biasa, mereka ngompori gue untuk hunting cewek lagi. Meski gue udah jelasin kalo gue udah punya pandangan berbeda ama mereka, tapi mereka maksa gue untuk ninggalin pandangan gue yang kata mereka tuh kagak gaul dan nggak bisa buktiin kejantanan. Gila! Memangnya kalo gue ngejomblo banci apa? Gue sebenarnya marah, tapi seperti biasa gue nggak berani untuk unjuk tinju. Gue berusaha sabar. Omongan mereka nggak gue dengerin. Ya, gue berusaha agar prinsip gue kali ini nggak tergerus omongan sesat temen-temen gue itu.

“Ngapain sih lo ngejomblo mulu? Apa nggak sayang tuh hidupmu dibuang sia-sia tanpa keindahan dan kebahagian dengan para cewek?” mereka nyindir gue sambil terbahak. Gue sakit hati, gue marah. Tapi gue tetap nggak bisa melawan mereka. Mungkin gue emang orangnya nggak tegaan (atau emang gue penakut?). Gue nggak peduli. Tapi itulah kenyataannya. Temen-temen gue nggak berubah. Mereka tetap seperti itu. Apalagi gue kayaknya nggak terlalu dianggap. Perubahan gue pun menurut mereka bukanlah hal yang istimewa. It’s ok. Bagi gue nggak masalah. Justru gue yang ngerasa kasihan kepada temen-temen gue yang makin terlalu jauh melangkah ninggalin yang sebenarnya perlu mereka pagang erat, yakni prinsip hidup dalam memegang kebenaran ajaran agama, Islam.

Oke lah, gue nggak terlalu mikirin temen-temen gue itu. Saat ini, gue lebih fokus gimana caranya supaya gue tetap tabah nerima kenyataan bahwa gue emang jomblo. Gue harus berusaha lebih keras agar bisa meyakinkan diri gue sendiri dengan apa yang gue ambil. Ini pilihan hidup gue untuk saat ini. Gue tetap akan menjadi jomblo sampai batas waktu yang belum gue tahu. Gue akan berusaha untuk tegar terima kenyataan. Semoga gue tabah. Nggak tergoda untuk ngelakuin hal-hal konyol yang pernah gue lakuin dulu, atau bahkan hal yang udah pasti dosa. Gue berusaha untuk tetap di track yang benar yang gue yakini.”

Lalu, apa?

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam, itulah sekilas dari buku saya yang berjudul “Jomblo’s Diary”. Ya, itu contoh beberapa curhat mereka yang jomblo tetapi ingin tetap bertahan dalam kebenaran Islam. Dengan kata lain, mereka sih nggak masalah deh ngejomblo juga, asalkan jangan pacaran, karena pacaran adalah maksiat dan tentu saja berdosa kalo dilakukan. Prinsip keren tuh! Kamu pasti bisa juga bersikap seperti itu kan?

Lalu apa dan bagaimana? Tetaplah menjomblo sampai waktumu udah siap menikah. Jangan pacaran, jangan dekati mereka yang pacaran. Sebaliknya, kuatkan imanmu, jaga akidahmu, mantapkan ilmumu, eratkan ikatanmu terhadap syariat Islam, dan lebih keren lagi selamatkan mereka yang masih jomblo dengan dakwahmu. Ajak mereka untuk tetap sabar, tawakal, belajar, dan tentu saja menjauhi aktvitas pacaran. Keren kan? So, pasti! [solihin | Twitter @osolihin]

0 komentar:

Post a Comment

« »
Get widget