Tak pernah ada satu definisi yang baku mengenai budaya populer. Banyak orang memahaminya sebagai budaya yang disukai banyak orang. Ukuran popularitas dalam hal ini bersifat kualitatif dan serba relatif. Bisa juga diartikan sebagai apa yang tidak masuk dalam hitungan budaya adiluhung, sehingga sifatnya pun inferior. Ada pula yang mengaitkannya dengan budaya massa yang komersial dan membodohi orang banyak (meski banyak penelitian membuktikan bahwa fungsi pembodohan itu belum tentu berhasil, karena masyarakat bisa saja tidak selalu bisa dibodohi—contohnya mungkin kita-kita, duile pede banget!). Sebagian lagi bilang, budaya populer mencaplok mimpi-mimpi kita, mengemasnya, dan menjualnya kembali pada kita. Sehingga, budaya populer berkaitan erat dengan kapitalisme (keuntungan, the capital accumulation), mengandalkan perilaku konsumeristis, created needs, agresif, seks untuk mengikat konsumen, quasi pornografitik (Ehm, kamu bisa baca lengkap penjelasan ini sampe teler dalam tulisan Camelllie Paglia tentang Sex, Art, and American Culture)
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam, namun demikian, kalo melihat gejalanya yang terjadi dalam kehidupan kita saat ini, rasa-rasanya nggak salah-salah amat kalo budya pop itu bisa diartikan sebagai instant culture. Jadi intinya budaya pop adalah budaya yang ringan, menyenangkan, trendi, dan cepat berganti. Nah, biasanya para remaja paling doyan kalo udah njiplak gaya hidup hasil imbas budaya pop. Pokoke, cepet banget nyetelnya euy! Itu sebabnya, saya jadi kepikiran terus sama kamu-kamu. Khawatir kalo kamu terjerumus main ikut-ikutan aja tanpa memandang halal dan haram dalam berbuat.
Menurut R. Valentina, Direktur Institut Perempuan Bandung (silakan baca tulisannya di pikiran-rakyat.com tahun 2002), dalam pertarungan tersebut, siapa saja bisa terlibat di dalamnya. Di situ pula ideologi dominan bisa digugat, kalau kita sadar dan mau. Namun sayangnya, kita sering merasa kalah bahkan tak mau bertarung. Kita lebih suka tak tahu apa-apa, pura-pura tak tahu, atau bahkan ikut terbawa arus. Budaya populer memang bergerak begitu cepat, sangat cepatnya, sampai-sampai tanpa sadar kita diminta dengan ikhlas (baca:dipaksa) tunduk dengan logic of capital, logika proses produksi di mana hal-hal yang dangkal dan cepat ditangkap yang cepat laku (hubungannya dengan masyarakat modern sering dijuluki dengan instant culture, dunia yang berlari, Anthony Giddens menyebutnya sebagai dunia yang sedang berlari dan semua yang selalu berlari satu track lebih tinggi ini memang tidak memiliki kesempatan untuk renungan-renungan yang mendalam). Yang penting dalam dunia ini adalah menjual dan membeli.
Menjual dan membeli? Yup, bagi mereka yang punya modal, mereka berhak menjual apa saja. Baik barang maupun jasa. Barang yang bagus atau pun jelek, pun jasa yang bermanfaat atau pun yang membawa mudharat. Dengan kekuatan modalnya para pengusaha bisa memaksakan dalam menjual produknya. Dan kita? Kita adalah pembelinya. Baik membeli dalam arti mengeluarkan harta untuk mendapatkan barang dan jasa itu. Atau pun membeli yang bermakna melakukan apa yang diinginkan sang penjual. Jika penjual menawarkan gaya hidup, maka kita serta-merta membelinya dengan melakukan apa yang diajarkannya tersebut. Tanpa lagi melihat apakah itu menguntungkan atau merugikan. Yang penting dapat label “gaul”, “keren”, dan simbol modern lainnya yang sengaja disematkan sebagai imbalan atas “pembelian” kita terhadap produk budaya mereka.
Sobat muda muslim, produk budaya pop berupa barang dan jasa bisa kita lihat bagaimana maraknya makanan, pakaian, dan juga hiburan yang dikemas dengan sangat rapi dan manis. Ditawarkan kepada kita yang tak memiliki modal (cuma punya duit tapi nggak bijak memanfaatkannya) untuk membelinya. Supaya cepat laku, diberikanlah simbol-simbol bagi yang memanfaatkan produk barang dan jasa yang mereka tawarkan. Di sinilah posisi tawar (bargaining position) kebanyakan dari kita lemah. Sehingga mau saja membeli dan menerima tanpa berpikir lebih dalam atas apa yang ditawarkan penjual. Kita diminta berpikir singkat dengan diarahkan supaya membeli produk barang dan jasa yang mereka jual.
Senjata itu bernama media massa
Sobat muda muslim, kerlap-kerlip budaya pop sangat mudah disalurkan lewat media massa. Baik media elektronik maupun media cetak. Dan kita, seperti patuh saja mengikuti apa yang diajarkan media massa. Jadi nggak usah heran kalo kemudian budaya yang disebarkan di media massa ditiru secara massal.
Melihat betapa ampuhnya media massa untuk membentuk opini dengan menciptakan tren dan menjadikan pembaca atau pemirsanya sebagai korban tren, membuat para konglomerat industri media menjadikannya senjata. Jika ditelusuri lebih jauh dan detil, maka akan dapat disimpulkan bahwa musuh-musuh Islam menjadikan media massa sebagai senjata “perusak moral” secara massal.
Fuad bin Sayyid Abdurrahman ar-Rifa’i (dalam bukunya yang berjudul Yahudi dalam Informasi dan Organisasi) menuliskan bagaimana kaum Yahudi memperkuat pengaruhnya lewat dominasi kantor berita, media massa, perfilman, keuangan dan lembaga dunia. Kantor berita terbesar dunia, Reuters, dibangun keturunan Yahudi, Julius Reuters. Kantor berita besar lainnya, Associated Press, International News Service dan United Press International, juga dimiliki orang Yahudi. Bahkan, surat kabar yang tidak terlalu besar pun, seperti The Sunday Times, The Chicago Sun Times dan The City Magazine, tidak mereka lepaskan.
Selain media cetak, beberapa konglomerat Yahudi berhasil merambah dunia broadcasting. Di jalur ini ada American Broadcasting Companies (ABC), Columbia Broadcasting System (CBS), National Broadcasting Company (NBC), dan Cable News Network (CNN). Dunia hiburan yang masih ada hubungan dengan media massa juga nggak dilepaskan dari kontrol Yahudi. Jajaran pengusaha top bisnis hiburan di Hollywood tercatat sebagai bagian dari jaringan media Yahudi. Sebut saja Perusahaan film Fox Company milik William Fox, Golden Company (Samuel Golden), Metro Company (Lewis Mayer), Warner & Bross Company (Harny Warner), serta Paramount Company milik Hod Dixon, merupakan perusahaan film yang punya pengaruh besar di bidangnya.
Sobat muda, jaringan mereka cukup kuat juga. Di bisnis penerbitan buku, tercatat ada tiga penerbit kaliber raksasa dan cukup berpengaruh; Random House, Simon & Schuster, dan Time Inc. Book Co. Semuanya dimiliki pemodal Yahudi. Pimpinan eksekutif Simon & Schuster, Richard Snyder dan ketuanya Jeremy Kaplan, keduanya orang Yahudi. Malah di luar penerbit yang tiga di atas, Western Publishing tercatat ada pada peringkat paling atas, yang menerbitkan buku-buku untuk anak-anak, dengan pangsa pasar yang dikuasainya 50 persen dari pangsa pasar buku untuk anak-anak yang ada di dunia. CEO Western Publishing adalah Richard Bernstein, seorang Yahudi.
Celakanya bagi kita, media massa di berbagai negara kerapkali mengambil media-media massa besar tersebut sebagai rujukan beritanya. Termasuk di negeri ini tentunya. Hasilnya, opini yang berkembang jadi seragam. Bener lho. Gimana nggak seragam, wong yang diambil dari sono kok. Ambil contoh, media cetak di negeri kita aja suka mencantumkah sumbernya, seperti dari Reuters, CNN, AP dan lain sebagainya.
Emang sih nggak semuanya media massa dikuasai Yahudi. Tapi gawatnya, justru yang besar dan berpengaruh yang dimiliki mereka. Jadi, mau nggak mau kudu nelan mentah-mentah informasi yang diberikan mereka. Dan inget lho, film-film yang ditayangkan di televisi or di layar lebar di seluruh dunia, juga nggak lepas dari muatan yang dipesan oleh kalangan Yahudi. Paling nggak, hal itu akan mempengaruhi penilaian kita dalam menerima informasi. Apalagi kemasannya begitu memikat.
Bro en Sis rahimakumullah, tak salah jika George Gerbner menyebutkan (dalam bukunya Mass Media and Human Communication Theory, tahun 1967), “Mass Communication is the technologically and institutionally based production and distribution of the most broadly shared continous flow of messages in industrial societies” (Komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri).
Dalam kondisi seperti ini, media memang menjadi corong untuk membangun dan membentuk opini. Gawatnya, jika opini tersebut sudah diseleksi (baca: diplintir) oleh pihak yang berkepentingan untuk mewujudkan keinginannya. Hasilnya, media massa telah berubah menjadi ancaman yang sangat mengerikan.
Itu sebabnya sobat gaulislam, media massa memang senjata yang ampuh dalam menyebarkan opini. Kalo opininya baik, maka kebaikan insya Allah akan cepat menyebar. Tapi celakanya, jika opini yang digembar-gemborkan sesat dan menyesatkan, maka hasilnya pun sudah bisa dipastikan betapa dahsyatnya pengaruh opini tersebut. Jadi amat wajar jika banyak generasi kita yang tanpa sadar mengikuti apa yang diajarkan media massa. Mereka menelan mentah-mentah budaya pop meskipun mengundang bencana. Waspadalah!
Apa yang harus dilakukan sekarang? Buruan nyadar, benahi diri, upgrade akidahmu dengan benar dan baik. Selain itu, luangkan waktu untuk belajar Islam, juga hindari teman yang jahat dan yang berakhlak buruk. Sebaliknya, kamu gabung dengan teman-teman yang shalih/shalihah, lalu rajin mengkaji Islam. Tentut saja, supaya kamu nggak tergoda kerlap-kerlip budaya pop yang umumnya memang menyesatkan itu. [solihin | Twitter @osolihin]
0 komentar:
Post a Comment