gaulislam edisi 313/tahun ke-7 (16 Dzulhijjah 1434 H/ 21 Oktober 2013)
Apa itu sejati? Kamu tahu kan? Hah? “Sejati sama dengan sekali jajal langsung mati?” Aduuuh… nggak banget deh! Sumpah! Kalo sekali jajal langsung mati, gimana ceritanya dong? Di film-film aja kalo jagoan meskipun berkali-kali jungkir-balik plus jatuh-bangun juga tetap bertahan dan akhirnya jadi pemenang. Emang sih ada film yang sad ending alias sedih di akhirnya. Tetapi umumnya untuk memanjakan penonton biasanya banyak film klimaksnya adalah jagoannya mesti menang, apapun caranya. Sekali lagi, yang penting menang. Titik.
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam, ngomongin remaja muslim sejati, sebenarnya kita nggak mudah menentukan kriteria dan kemudian memilihnya. Kenapa? Sebab, kriteria kadang disusupi oleh keinginan si pembuat istilah. Kadang juga, malah pemilihannya sesuai selera yang memilih. Nah, supaya adil, kita serahkan aja kepada ajaran Islam (karena memang judulnya ada sebutan “remaja muslim”). Setuju nggak? Setuju aja ya daripada elo bonyok kagak karuan. Oppss…! (apa hubungannya?)
Oya, sebelumnya kita buka kamus ya untuk mencari tahu apa sih sejati itu. Yup, saya punya KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), baik versi cetak maupun digital. Menurut KBBI, sejati itu artinya yang sebenarnya alias tulen, asli, murni, tidak ada campurannya. Maka, kalo dirangkai seperti dalam judul gaulislam edisi 313 ini, artinya adalah: remaja muslim yang asli, tulen nggak ada campuran apapun yang membuatnya nggak murni lagi. Paham ya?
Apa? Belum paham? Adduuuh. Kamu tahu bensin murni dan bensin campuran kan? Yup, kalo bensin murni berarti benar-benar bensin. Tetapi kalo bensin campur berarti oplosan. Bisa saja ditambah cairan lain, sehingga ‘jati diri’ si bensin itu nggak murni lagi. Semoga contoh ini bikin kamu paham ya, Bro en Sis!
Asli, palsu, murni dan oplosan
Kamu kecewa nggak kalo ternyata benda yang kamu beli itu palsu? Mereknya sih merek terkenal, tetapi pas udah diteliti nyatanya palsu. Wuih, rasanya hati kayak kena tinju telak bertubi-tubi. Malu, kesal, dan kecewa jadi satu diulek di hatimu. Hadeeeuhh.. apalagi bila barang itu dibeli dengan harga mahal. Bisa-bisa malu, kesal dan kecewamu nggak ilang sampe delapan turunan.
Nah, sekarang ngomongin jati diri kita sebagai muslim. Secara saklebetan alias sekilas orang mungkin akan menilai kita baik hanya dengan ngeliat kita tuh rajin shalatnya, jujur, sopan, santun, bahkan menghormati yang tua, rajin shadaqah pula dan pinter baca al-Quran lengkap dengan tahsin dan ‘lagunya’. Orang-orang berpikir, itulah remaja muslim idaman. Keren! Fantastis!
Tetapi sayangnya, ketika banyak orang pada suatu saat melihat kamu pacaran, bahkan hot banget dengan pacarmu. Aduh, rasa-rasanya sangat wajar kalo banyak orang kemudian menilai kamu tuh kepribadiannya oplosan, yakni level tertentu dari palsu. Kamu tuh cuma bagus casing-nya doang. Dalemannya (yakni pikiran dan perasaan—yang memang mempengaruhi perilaku) ternyata ada yang bad sector gara-gara kena virus pemikiran dari luar Islam. Cara pandangmu tentang kehidupan dan pelaksanaan syariat dalam kehidupan udah rusak digerus virus permisif (serba boleh), hedonisme (pemuja kenikmatan jasadi dan materi) serta mengamalkan liberalisme. Ibarat software, cara kerjanya udah nggak bener. Memang sih ada sebagian yang bener, tetapi sebagian lainnya salah. Waduh, bahaya!
Nah, itu kan yang oplosan, gimana dengan yang palsu? Begini contoh gampangnya. Kamu nih, ke semua orang ngaku-ngaku sebagai siswa sekolah A, dan untuk meyakinkan kamu pake tanda pengenal sekolah tersebut. Padahal, kamu tuh bukan siswa sekolah A, tetapi siswa sekolah B. Tentu saja kamu ngelakuin itu karena ada motif alias ada udang di balik bakwan. Misalnya supaya dianggap keren sama teman sekolah lain, karena kebetulan sekolah A itu memang sekolah unggulan hingga menjadi sekolah favorit banyak pelajar di kotamu. Modus kamu yang seperti itu bisa dikategorikan mengelabui. Status pelajarmu di sekolah A dinilai palsu alias gadungan.
Bagaimana dengan kepribadian remaja muslim? Nah, ngakunya sih remaja muslim, tetapi kok nggak shalat? Ngakunya aktivis dakwah, tetapi kok pacaran? Bilang ke semua orang bahwa Islam itu jalan hidup, eh ternyata kamu malah ngamalin keyakinan lain selain Islam. Banyak orang yang udah kamu yakinkan bahwa kamu cuma beriman kepada Allah Ta’ala dan percaya bahwa takdir dariNya adalah keputusan terbaik buatmu. Eh, suatu saat kamu ketahuan lagi tergila-gila meyakini ramalan zodiak, bahkan kamu mempercayai dukun untuk dapetin ilmu pelet demi cewek yang kamu sukai. Waduh! Itu semua ciri muslim gadungan. Waspadalah!
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Tentu saja kita ingin menjadi muslim sejati (tulen, murni). Nggak mau jadi muslim oplosan, apalagi jadi muslim gadungan (palsu). Jangan sampe deh. Itu sebabnya, kita harus menunjukkan identitas asli kita sebagai muslim sejati. Muslim yang akidahnya kokoh dan hanya beriman kepada Allah Ta’ala. Menaati perintahNya dan juga perintah Rasulullah Muhammad saw. Nggak pake nawar-nawar lagi. Sami’na wa atho’na (kami dengar dan kami taat). Nggak akan berani bilang: sami’na wa pikir-pikirna (kami dengar dan kami pikir-pikir dulu deh). Yeee.. itu sih bukan ciri muslim sejati. Bisa jadi itu muslim oplosan dan bukan tak mungkin malah muslim gadungan alias palsu.
Tunjukkan identitasmu!
Sobat gaulislam, identitas itu perlu. Kamu punya kartu pelajar nggak? Pastinya punya dong, kecuali kalo kamu nggak terdaftar di sekolahmu. Iya kan? Nah, coba perhatikan deh. Orang akan percaya dengan identitas yang kita miliki. Saat kita daftar sekolah, mestinya dimintai Akta Kelahiran sebagai salah satu identitas yang menunjukkan diri kita sesungguhnya (walau pun hanya sekadar nama dan kita anak siapa). Kartu Keluarga juga diperlukan untuk verifikasi bahwa kamu memiliki orang tua/wali dan tercatat sebagai anggota keluarga tersebut sebagai bukti penunjang keaslian identitas dirimu.
Tuh, untuk urusan duniawi saja kudu tertib. Urusan yang teknis macam begitu, identitas diri itu diperlukan. Apalagi kalo urusannya dengan akhirat (perkara surga dan neraka)? Hmm.. tentunya (seharusnya) lebih ketat lagi. Coba deh. Urusannya bisa gawat kalo identitas kemuslimanmu nggak jelas. Dibilang muslim ya karena orang tuamu bilang bahwa kamu muslim dan memang tercatat di Kartu Keluarga pada kolom yang ke-7, yakni kolom agama, tertulis Islam. Tetapi kok kelakuannya jauh dari kriteria sebagai muslim? Shalat nggak, tetapi judi jalan terus. Menutup aurat nggak ketika keluar rumah, dan pacaran paling hot. Ckckck… ini masalah banget, sobat!
Selain yang model begitu, ada juga yang shalatnya rajin tapi maksiat juga lancar. Ini parah juga. Bukankah kamu udah sering baca doa iftitah? (yang artinya: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku semata-mata untuk Allah, Tuhan alam semesta, tiada sesuatu pun yang menyekutui-Nya”). Doa itu selalu kita ucapkan 5 kali dalam sehari. Namun sayangnya, kalo kita udah berikrar seperti itu, tetapi kelakuan kita di luar shalat justru jauh dari ajaran Islam, artinya kan menghina ajaran Islam. Betul nggak? Luntur sudah identitas kemusliman kita. Lama kelamaan, bukan tak mungkin bisa lenyap kalo kita malah ninggalin ajaran Islam. Naudzubillah!
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Ngomongin soal identitas ada hubungannya juga lho dengan idealisme. Apa itu idealisme? Menurut kamus sih, artinya hidup atau berusaha hidup menurut cita-cita, menurut patokan yang dianggap sempurna. Itu artinya pula, bahwa kita harus menunjukkan idealisme sebagai seorang muslim.
Benar, bukan hanya menunjukkan, tetapi kita juga kudu mempertahankan idealisme yang kita miliki. Nggak boleh luntur dan pudar. Ibarat batu karang di laut. Sekeras apapun terjangan gelombang, batu karang tetap tegar menantang. Tak gentar menghadapi berbagai godaan. Emang sih, ketika kita mencoba inisiatif bikin pengajian atau bersikap kritis terhadap kondisi lingkungan kita, selalu aja jadi sasaran empuk cemoohan. Baru aktif di masjid aja udah banyak mulut-mulut usil. Baru sehari pakai kerudung (apalagi jika lengkap dengan jilbabnya) ke sekolah, udah banyak yang kepo dan cenderung ngerecokin. Dibilangin “sok alim lah”, disebut “bau surga lah”. Prinsipnya, banyak halangan menuju idealis. Tetapi, jangan pesimis!.
Namun demikian, nggak usah bingung bin stres. Kondisi ini nggak akan berlangsung lama. Mereka bakal pegel sendiri. Kuat-kuatan aja. Apalagi kita ada di jalan yang bener. Kita kudu bangga punya idealisme Islam. Bener, kudu bangga banget, kawan. Sebab kita berjuang untuk Islam. Inilah idealisme yang emang sulit dikalahkan. Firman Allah Swt.: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. (QS Fushilat [41]: 30)
Well, meski demikian idealisme nggak muncul secara otomatis dalam diri kita. Namun butuh proses. Butuh upaya untuk membentuknya. Itu sebabnya, diperlukan kekritisan dalam bersikap, mampu menangkap realitas kehidupan yang ada, menyikapinya dan memberikan solusi. Ghirah (semangat) Islam kita pun perlu ditumbuhkan. Selain itu, akrab dengan pemikiran-pemikiran Islam melalui berbagai kajian, dan mampu menerjemahkannya untuk menyelesaikan berbagai problem kehidupan. So, mempertahankan idealisme dan menunjukkan identitas kemusliman itu bukan impian, tapi sebuah kenyataan yang bisa diwujudkan. Ayo, jadilah remaja muslim sejati! Buktikan dengan kemurnian identitas kemuslimanmu, Bro en Sis! [solihin | Twitter @osolihin]
0 komentar:
Post a Comment