Ali bin Abi Thalib pernah berkata bahwa jangan meremehkan kebaikan meski itu keluar dari mulut anak kecil.
Siang itu seorang binaan saya meng-sms ingin ditemani ke suatu tempat. Seorang siswa sma kelas 2. Anaknya pintar, lucu, dan saya melihat garis-garis kesungguhan pada matanya. Kesungguhan pada apapun.. pada urusan sekolah, pada urusan amanah da'wah, pada urusan ekstrakurikuler, juga pada janji. Termasuk juga hari itu, saya belajar pada kesungguhannya akan harapan.
Ia minta ditemani untuk mencari pembicara tabligh akbar. Lalu saya meng-iya kan saja. Saya senang melayani siapa saja yang pro-aktif dan inisiatif, apalagi jika itu binaan-binaan saya. Tapi kondisinya memang lucu, di sekolah tersebut rohisnya memang kurang berkembang, sehingga hanya ia lah dan segelintir teman yang ngos-ngosan berusaha agar rohis tetap ada. Tak ada ikhwan rohis kelas 2. Itulah, mengapa secara tersirat, saya dapatkan fakta tersembunyi, binaan saya inilah ketua rohis kelas 2 secara de jure. Walaupun secara de facto ketua masih dipegang kelas 3 ikhwan (yang sudah dua tahun ini menjabat karena regenerasi mandet). Tak apa, masih ada bibit-bibit semangat.
Kelas 2 sma. Mungkin gelora da'wah saya tak sebesar itu dulu. Ia lebih, lebih dari saya. Maka siang itu kami berjanji bertemu, jam 12 siang dekat tempat saya bekerja. Namun siang itu hujan turun dengan derasnya. Deraas sekali. Saya sih cuma mengambil default saja, kalau-kalau janji ini harus batal.
Setengah jam saya tunggu ia di dekat gerbang. Tidak datang-datang juga sampai ia akhirnya meng-sms, "teh aku udah dkt". Oh, ternyata jadi. Ia datang menepati janjinya. Mata saya menyapu langit, hujan masih bersemangat turun nampaknya. Mendung masih tergelayut. Duh, kasihan sekali ia, "sama siapa dek? naik apa?". Sms kemudian masuk lagi, "sndri teh, naik motor". Saya membayangkan dengan pilu, baju putih abunya pasti basah kuyup. Jilbab putihnya juga. MasyaAllah..
Beberapa lama kemudian sms masuk darinya, "teh, aku di kios-kios depan, neduh". Saya langsung beranjak dari tempat. Dari kejauhan saya melihat ia. Bajunya basah kuyup sampai rok-roknya. Yang aslinya berwarna abu, sekarang lebih dekat ke biru dongker karena basah. Rupanya ponco besar pun belum mampu menghalau hujan deras tadi. Juga saya lihat kaus kakinya dilepas. Terlihatlah jempol kakinya berderak-derak pertanda kurang nyaman menggunakan sepatu basah itu. Mungkin tadi di jalan kecipratan air kotor, sehingga kakinya gatal. Hampir saja saya berniat berkata, "hati-hati ada ikhwan dek, nanti kakinya kelihatan..". Tapi.. hmm.. sudahlah, mungkin ini bukan saat yang tepat untuk menjelaskan. Tak apa, bertahap saja..
Ia melambaikan tangannya saat saya mendekat. Tidak ada cemberut, juga tidak ada rona menyesal. Seperti biasa ia terlihat semangat. Kemudian saya berpikir, apa kata pertama yang akan saya ucapkan. Ini pasti berpengaruh pada psikologinya. Tapi ia telah lebih dulu berkata, "teh.. bener kan kita bisa?? kita bisa ngadain tabligh dengan undang ustadz terkenal ke sekolah?? aku pengen anak-anak tau, kalau rohis masih ada.. rohis masih ada, teh..!".
Jika bisa, mungkin saya akan meleleh di sana saking takjubnya padanya. Saya mungkin bukan alumni dari sekolah mereka, hanya mentor outsource. Tapi saya senang sekali, hari gini masih ada anak rohis yang tidak rela jika rohis hilang. Semangat seperti ini yang mungkin tidak saya temukan pada sekolah-sekolah kondusif yang rohisnya sudah stable. Karena mereka tidak pernah merasakannya, bagaimana sedihnya rohis tanpa kegiatan, tanpa alumni, juga tanpa regenerasi.
Ia menghulurkan sebuah helm pada saya. Yang rupanya sudah disiapkan sejak pagi tadi. Kami pun pergi mencari ustadz. Ini Out Of Topic, tapi rasanya aneh dibonceng anak sma. hehe, lupakan.
Inilah yang membuat saya entah mengapa ketagihan pada pemuda pemudi seperti mereka, thullaby. Mereka selalu meyakinkan saya, kalau ketulusan itu masih ada di bumi ini.
Jika anda menemukan orang-orang dengan karakter seperti ini,
jangan berpaling muka, layanilah mereka dengan semampunya.
Seperti kisah pada surat 'Abasa, mereka adalah prioritas pertama da'wah kita.
#untukmu di luar sana, bagaimana kabar rohis di sekolahmu? masih ada kah? masihkah ia mencetak orang-orang 'sepertimu?'
0 komentar:
Post a Comment