Jalan dakwah memang selalu memberi kita pelajaran yang sangat berarti bagi diri kita sendiri. Karena disanalah kita menemukan sebuah keikhlasan menjadi snagat penting bagi hidup kita. Terkadang kita selalu menilai seseorang dari tampilan luarnya saja. Tapi tidak pernah menilai dari hatinya.
Sekitar tiga tahun lalu saya mulai mengajar di sebuah sekolah menengah atas (SMA) swasta di Solo. Sekolah yang berbasis Islam terpadu itu benar-benar memberi nuansa keislaman yang kental di dalamnya. Di sanalah saya bertemu dengan murid- murid yang sedang tumbuh masa remajanya. Di sana pula saya bertemu dengan salah satu murid saya, namanya Irfandi. Murid kelas XI meski usianya telah 18 tahun. Hanya terpaut dua tahun di bawah saya. Sebab jarak usia yang terlalu pendek itulah akhirnya saya sangat akrab dengan murid satu ini. Saya sudah menganggapnya seperti adik sendiri. Karena keakraban itulah kami biasa bincang- bincang hingga waktu sangat lama. Hingga suatu ketika ia bercerita masa lalunya kepada saya.Dia hanyalah s
eorang pemuda yang lahir dari keluarga sederhana di sudut kota Semarang. Usai sekolah SD ia melanjutkan pendidikan SMP di sebuah pesantren di Solo. Karena kebandelannya, hampir setiap hari ia melanggar peraturan pesantren. Keluar tanpa izin begitu saja. Di saat itulah ia mulai mengenal dunia luar yang lebih liar. Ia mulai bergabung dengan para jalanan. Berpakaian ala punk, tawuran dan minum-minuman keras. Menginjak tahun kedua ia makin menjadi, tawuran hingga luka parah sudah bukan hal baru. Bahkan ia mulai menjadi orang yang berpengaruh diantara kelompok-kelompok jalanan. Saat itu pula ia mulai mengenal narkoba. Menjadi pemakai aktif sekaligus menjadi pengedar.
Dia bercerita lagi kepada saya lagi. Di tahun ketiga ia sudah memiliki jaringan narkoba di Solo dan Semarang. Ia sudah tidak memikirkan pendidikannya lagi. Sudah tidak terhitung pula orang tuanya dipanggil pihak pesantren. Di saat itulah ada seorang ustadzah yang mengajar bahasa Inggris mendekatinya. Ustadzah Indah namanya. Sang guru tahu benar ia anak yang nakal. Lalu Sang guru mencoba mengajak bicara tentang masalahnya. Perlahan, ia bercerita sedikit demi sedikit tentang permasalahannya kepada sang guru. Hingga akhirnya ia berterus terang tentang semuanya. Itu pilihan terakhir setelah lulus dari pesantren dan ia tidak punya tujuan lagi harus ke mana.
Ketika masuk tahun ajaran baru SMA ia juga belum mendaftar sekolah sampai pendaftaran di semua sekolah telah ditutup. Dengan dibantu sang guru, akhirnya ia bisa masuk di sebuah sekolah swasta di Solo. Tetapi bukannya lebih serius belajar ia malah semakin tidak terkendali. Selama setahun itu ia sudah berpindah sekolah hingga 6 kali. Ia sudah tidak peduli dengan pendidikannya. Bahkan Ia menjadi pengedar hingga Surabaya. Suatu saat, sang guru tahu ia hendak pergi ke Surabaya. Tengah malam sang guru datang sendirian. Mencegahnya untuk pergi. Ia tetap bergeming, bersikukuh meski sang guru mencegahnya sambil menangis. Mungkin sang guru berpikir betapa ia ingin mendidik anaknya menjadi baik. Akhirnya luluh juga hatinya. Ia tidak jadi memang, tetapi justru itu masalahnya. Ia harus mengganti barang yang tidak jadi diantarkannya itu dengan uang dua juta. Dan sang guru itulah yang memberinya ganti dua juta untuk diberikan kepada sang pemesan.
Sedikit demi sedikit ia mulai sadar betapa perhatian sang guru sangat besar terhadapnya. Ia mulai mengurangi pemakaian narkoba, meski sangatlah berat. Ia bertekad besar untuk berubah. Ia juga mundur dari jaringan pengedar narkoba. Sebagai jaminan keamanan ia membayar uang enam juta rupiah kepada pimpinan jaringan yang lebih tinggi. Uang itu hasil pemberian sang guru ketika ia menyatakan ingin lepas dari jaringan narkoba. Sebab memang resiko besar jika mundur dari jaringan itu. Siapapun jika sudah masuk dalam jaringan, maka ia tidak bisa keluar lagi dari jaringan itu. Resiko terbesar adalah dibunuh. Itu pasti!
Tahun pertama SMA ia tidak naik kelas. Akhirnya ia pindah dan didaftarkan sang guru di Sekolah bernuansakan Islam. Terlebih sekolah ini juga menyediakan asrama bagi siswa yang jauh. Solo-Semarang bukanlah jarak yang pendek. Dan saya pun bertemu dengannya di sekolah ini. Di jalan pertaubatan itulah ia semakin berkomitmen besar untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hubungan dengan orang tua pelan tapi pasti mulai membaik. Sang guru yang selalu memberi perhatian besar akhirnya mulai melepasnya seiring kemandiriannya. Saya ingat betul hampir setiap malam ia bangun. Shalatnya panjang. Di jalan pertaubatan itu pula dalam waktu 3tahun ia mampu menghafal 6juz. Prestasi belajarnya juga memuaskan. Hingga lulus SMA tahun lalu. Ia akhirnya diterima di sebuah universitas negeri di Semarang. Di Awal-awal bulan ia sering menelpon saya “hanya” untuk sekedar ‘halaqoh’. Ia amat antusias meski halaqoh kami hanya melalui sambungan seluler. Suatu saat saya dijemput dan diajak menginap di kos dia. Banyak cerita yang saya dapatkan darinya. Ia bercerita kalau dia sudah banyak menantang orang-orang yang “menguasai” kampus. Ia juga menantang preman kampung di sekitar kampus. Ketika ia sudah mengalahkan mereka, ia mengajak berteman mereka. hingga kini akrab. Di sanalah ia mengajak mereka shalat, ngaji dan juga menasehati untuk meninggalkan dunia gelap seperti yang telah ia alami dahulu.[]
Penulis: Wahyu Nur Huda Pamungkas
Jakarta Selatan
Tulisan ini adalah salah satu peserta
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
0 komentar:
Post a Comment