dakwatuna.com – Perkara memilih qiyadah atau pemimpin adalah salah satu hal yang paling fundamental dalam Islam, begitu banyak ayat dalam al-Quran dan hadits yang menyinggung tentang pemimpin dan kepemimpinan. Ketika Rasulullah SAW wafat para sahabat sepakat bahwa akan memilih pemimpin dulu sebelum mengukurkan jenazah orang paling mulia itu Rasul SAW. Ini menunjukkan sebegitu pentingnya keberadaan seorang pemimpin di tengah-tengah umat atau sebuah jamaah sehingga sampai-sampai jenazah Rasul SAW harus ditangguhkan pemakamannya oleh para sahabat demi menjaga agar tidak ada kekosongan pemimpin.
Apalagi dipertegas oleh Rasul SAW sendiri dalam banyak hadits-haditsnya. Bahkan dalam perjalanan pun kita harus memilih pemimpin, berikut haditsnya,
“Apabila tiga orang keluar bermusafir maka hendaklah salah seorang dari kamu menjadi pemimpin.” (Riwayat Abu Daud).
Apatah lagi mengenai kepemimpinan umat atau jamaah. Maka wajar kemudian Umar bin Khathab RA mempertegas keberadaan pemimpin dalam Islam dan jamaah dalam ungkapannya yang sangat termasyhur, “Tiada Islam tanpa jamaah, tiada jamaah tanpa qiyadah dan tiada qiyadah tanpa ketaatan”. Pada ungkapan Umar bin Khathab RA ini ada empat komponen yang menyatu menjadi satu yang tidak bisa dipisahkan yaitu Islam, jamaah, qiyadah, dan ketaatan. Sebab bila ada salah satunya yang hilang maka seluruhnya akan menjadi tidak sempurna.
Memilih pemimpin bukanlah perkara yang mudah dibutuhkan pertimbangan yang matang tentang banyak hal, apalagi menjadi seorang pemimpin ini perkara yang lebih sulit lagi. Sebab menjadi seorang pemimpin mengharuskan dirinya bak “malaikat” yang tak pernah berbuat salah, karena pemimpin adalah cerminan bagi yang dipimpinnya, karena pemimpin harus menjadi teladan bagi yang dipimpinnya, karena pemimpin tidak boleh melakukan kesalahan sedikit pun, apabila ia melakukan kesalahan maka boleh jadi kesalahan-kesalahan itu akan menjadi pembenaran bagi yang dipimpinnya. Seorang pemimpin harus siap dibully, seorang pemimpin harus siap menjadi pusat perhatian banyak orang dari yang dipimpinnya segala bentuk tindak dan tanduknya.
Di setiap episode hidupnya, di setiap penggal cerita kesehariannya ia akan selalu dicari-cari kesalahan baik oleh lawan ataupun kawan. Kehati-hatian harus menjadi menu utamanya sebab boleh jadi hal yang makruh untuk seorang jundi (bawahan) bisa menjadi haram bagi seorang pemimpin. Contoh dalam konteks hari ini misalnya, dalam memainkan dunia maya, membuat status, komen dan hal lainnya. Bila yang membuat status agak aneh-aneh adalah orang biasa atau para jundi/bawahan maka itu menjadi hal biasa tetapi jika yang membuat itu seorang pemimpin maka itu akan menjadi malapetaka dan mungkin haram hukumnya.
Maka pantaslah kemudian bila tak banyak orang yang mampu menjadi pemimpin, memimpin diri sendiri saja susah apalagi harus memimpin banyak orang. Dibutuhkan prinsip dari ungkapan Umar bin Khathab RA tadi “tiada pemimpin tanpa ketaatan” selama apa yang diperintahkan oleh pemimpin tadi bukan untuk kemaksiatan maka sudah seharusnya kita sebagai jundi mentaatinya. Di tengah kewajiban seorang pemimpin yang begitu banyak maka tugas kita sebagai jundi wajib membantunya. Bantu pemimpin-pemimpin kita dengan mentaati perintahnya, mendoakan kebaikan untuknya dan menasihati jika ia berbuat salah, janganlah menghakiminya atau malah mencari-cari kesalahannya. Cukuplah kita bisa renungi pidato Abu Bakar As-Siddiq RA ketika beliau selesai dilantik menjadi khalifah pertama, berikut penggalan pidatonya:
Wahai manusia, hari ini aku telah diangkat menjadi pemimpin kalian bukanlah karena aku yang terbaik di antara kalian semuanya, untuk itu jika aku berbuat baik bantulah aku, dan jika aku berbuat salah luruskanlah aku. Sifat jujur itu adalah amanah, sedangkan kebohongan itu adalah pengkhianatan. ‘Orang lemah’ di antara kalian aku pandang kuat posisinya di sisiku dan aku akan melindungi hak-haknya. ‘Orang kuat’ di antara kalian aku pandang lemah posisinya di sisiku dan aku akan mengambil hak-hak mereka yang mereka peroleh dengan jalan yang jahat untuk aku kembalikan kepada yang berhak menerimanya. Janganlah di antara kalian meninggalkan jihad, sebab kaum yang meninggalkan jihad akan ditimpakan kehinaan oleh Allah Swt. Patuhlah kalian kepadaku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Jika aku durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada kewajiban bagi kalian untuk mematuhiku. Kini marilah kita menunaikan shalat semoga Allah Swt melimpahkan Rahmat-Nya kepada kita semua”.
Point utama yang bisa kita ambil dari pidato itu adalah taat kepada pemimpin selama dia masih taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya dan apabila ia tidak lagi punya ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya maka hilang sudah kewajiban taat kita sebagai seorang jundi.
Tulisan ini terinspirasi dari salah satu tulisan seorang asatidz dakwah di kampusku yang sangat berkesan bagiku dengan judul “jadikan aku seorang jundi” sehingga bisa bekerja dengan ikhlas tanpa harus diketahui orang lain. Mudah-mudahan ini bisa menjadi sumber inspirasi buat kita semua dan terlebih buatku serta menjadi sumber introspeksi diri secara pribadi serta bukan bermaksud untuk menggurui. Wallahu ‘alam bisshawab…
Oleh Syahdami
Mahasiswa tingkat akhir semester 11 di Universitas Sriwijaya. Pernah menjadi Ketua Umum Dewan Perwakilan Mahasiswa Unsri 2011-2012 dan sedang proses menyelesaiankan studi.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/11/07/41888/jangan-jadikan-aku-qiyadahmu/#ixzz2k1vZksSx
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
0 komentar:
Post a Comment