dakwatuna.com - Kuinjakkan kaki dengan perubahan diri pada kelas 3 SMA yaitu SMAN 12 Medan, berlanjut ke perguruan tinggi negeri yaitu Universitas Sumatera Utara dan juga Ma’had Abu Ubaidah Al-Jarrah Medan menjadi bekal yang mendalam. Apalagi dengan bekal aktivis SMAN 12 Medan (BINTALIS) dan organisasi Kampus baik intra ataupun ekstra. Cita-cita yang belum tersampaikan pastinya menjadi faktor pendorong untuk bangkit dari keterpurukan hidup. Kata-kata merantau selalu hadir dalam benakku.
Setelah selesai dari kampus, banyak pergolakan yang timbul pada saat itu. Padahal, di dalam hati sudah bertekad untuk menyelesaikan tahfizh di Ma’had, namun Allah menentukan hal yang berbeda dari rencana yang telah aku tuliskan di kertas impian. Tapi setiap shalat tidak pernah lupa untuk menyelipkan doa, ”Robb, beri hamba-Mu ini umur, agar bisa menyelesaikan hafalan Al-Qurban hingga dapat bermanfaat untuk anak, cucu dan orang lain juga. Banyak pertentangan yang terjadi ketika ku menginginkan menyelesaikan hafalanku selama kurang lebih 2,5 tahun lamanya diiringi dengan menyelesaikan tugas akhir kuliahku. Namun, orang tuaku yang masih saja menganggap menghafal Al-Qur’an tak ada apa-apanya. Allah, tidaklah mudah ketika ku menginginkan memakaikan kedua orang tuaku mahkota yang indah hingga mereka tak menyadari, mahkota dari manakah ini? Aku juga masih menginginkan agar aku bisa selamat dari siksa-Mu dan membantu saudara-saudaraku ketika aku telah dapat menyelesaikan hafalanku dengan menolong mereka memberikan jaminan dari syafaa’at al-Quran yang telah ku hafal. Namun, harapanku telah pupus hingga aku sekarang pun belum juga menyelesaikannya. Tapi semangatku tetap ada untuk menyelesaikan hafalanku. Aku juga tak ingin menyalahkan orang tuaku karena keadaanku dan keluarga jug sulit.
Aku pun melangkah untuk berpetualang meninggalkan rumah yang sejenak agak menyesakkan dada, karena pertentangan mengenai pekerjaan, penghasilan serta biaya hidupku ke depan. Kata-kata yang sangat perih untuk ku ingat. “Nak, Bapak gak bisa lagi membiayai kamu. Karena kamu kan sudah selesai, sementara ada dua orang adikmu lagi yang masih membutuhkan uang. Jadi mondoknya, sampai di sini aja ya.., kamu cari kerja toh kan sudah sarjana?”, ucap Bapak kala itu. Allahu Rabbi, begitu dahsyat kata-kata itu sampai sekarang aku mengingatnya pun masih membuatku perih.
Kulangkahkan kakiku menuju Bogor untuk bergabung dengan Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa. Entah panggilan jiwa yang mana, sehingga aku dapat melangkahkan kakiku berjalan, tapi panggilan dan jeritan hati ingin berkontribusi dalam pendidikan sangatlah besar. 1,5 tahun berkontribusi dan membangun pendidikan, hingga aku pun tak dapat menyapa hangatnya pelukan bapak dan mamak serta saudara-saudari kandungku.
Nabilah Hurin adalah wanita bidadari surga. Aku berharap di manapun aku berada, aku bisa bermanfaat bagi orang lain dan berperan aktif dalam mengembangkan pendidikan, walaupun basicku bukanlah pendidikan, tapi aku mengambil jurusan non pendidikan di Fakultas MIPA di USU. Walaupun, tertatih dan harus berpeluh keringat, tapi keyakinanku untuk bisa bangkit melihat tawa anak-anak negeri di negeri Laskar Pelangi inilah menjadi penguat langkahku. Bahwa aku masih harus bergerak, bangkit dari keterpurukan niat, motivasi dan tujuan hidupku yang goyah dan tetap berada pada jalan-Nya untuk menyelesaikan hafalanku apapun keadaannya. Ku berharap menjadi Bidadari Surga untuk sang pangeran Surga yang telah tercatat oleh-Nya di Lauh Mahfudz, pasti…itu akan terjadi. Karena aku selalu berdoa dan dengan namaku juga Nabilah Hurin…wanita, Bidadari Surga.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/11/01/41505/akulah-si-bidadari-surga-itu/#ixzz2jdhMpJVF
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
0 komentar:
Post a Comment