Islamedia - Pertama-tama, mari kita bersyukur ke hadirat Allah swt Tuhan yang Maha Kuasa atas rahmat dan karuniaNya pada malam hari ini kita bisa berkumpul bersama dalam acara yang sederhana tapi menyimpan cita-cita yang tidak sederhana. Kata para orang tua, boleh acara itu sederhana, boleh format kegiatan sederhana tapi tidak boleh bercita-cita sederhana. Kita dilarang bercita-cita sederhana agar terus memiliki cita-cita yang besar.
Hadirin sekalian, anak-anakku sekalian, hari ini tanggal 27 Oktober, jangan lupa besok 28 Oktober adalah perayaan Hari Sumpah Pemuda. Tadi saya sempat ngetwit di twitter bahwa Sumpah Pemuda itu menyimpan sejumlah makna. Pertama, adalah komitmen para pemuda membangun kebersamaan untuk sebuah cita-cita besar bernama Indonesia Merdeka. Yang kedua, Sumpah Pemuda adalah perekat perbedaan yang ada. Perbedaan adalah sebuah keniscayaan, sebagaimana persamaan pun adalah sebuah keniscayaan. Tentu tidak boleh kita berhenti pada dua kalimat ini. Pada saat Allah swt menciptakan perbedaan juga menciptakan persamaan.Ternyata persamaan yang Allah ciptakan di antara kita lebih banyak daripada perbedaan yang ada.
Oleh karena itu, pemuda-pemuda tahun 1928 juga membangun sebuah komitmen untuk menghadirkan perekat perbedaan tersebut sehingga perbedaan itu saling dipahami, saling hormat-menghormati, dan kemudian membangun sebuah bangunan bersama-sama dengan perekat yang sangat kuat untuk menghadirkan Indonesia merdeka. Itu yang kedua. Yang ketiga, Sumpah Pemuda juga merupakan sebuah pengorbanan karena pada saat itu para pemuda punya kesadaran yang sangat tinggi untuk melepaskan kepentingan-kepentingan kelompok, etnis, organisasinya demi hadirnya sebuah kesatuan yang kuat untuk membangun Indonesia merdeka. Saya kira dari 3 hal tersebut, yakni kebersamaan, perekat, dan pengorbanan mari kita jadikan cermin untuk membangun Indonesia di masa depan.
Hadirin sekalian, ternyata dalam konteks demokrasi negeri kita masih terus mencari format. Belum sampai pada format yang disepakati bersama dan paling ideal. Format-format tersebut semakin lama semakin disempurnakan. Boleh jadi di era anak-anak muda di hadapan saya nanti, atau boleh jadi anak muda yang kuliah di Turki inilah yang memelopori format yang lebih sempurna untuk sistem demokrasi di negeri yang kita cintai NegaraKesatuan Republik Indonesia.
Mengapa harus saya katakan seperti itu? Tentu saya sebagai pelaku politik dan pemerintahan hari ini sadar kita masih memiliki sejumlah kekurangan baik dalam format sistem demokrasi yang paling mendasar apalagi dalam implementasinya.Mengubahnya membutuhkan pengorbanan, kebersamaan dan perekat. Sayangnya di situasi kebebasan seperti sekarang ini, mungkin euforia kebebasan masih sangat menggelora sehingga kekuatan-kekuatan kelompok yang dulu diredam dan ditanggalkan sedikit muncul kembali. Saya pikir situasi ini akan selesai seiring-sejalan dengan perkembangan demokrasi di masa depan. Kita ini membutuhkan native democracy, yakni generasi Indonesia yang benar-benar memahami demokrasi dari akar persoalannya kemudian menerapkannya dengan baik. Itulah native democracy. Kedewasaan demokrasi itu hadir ketika native democracy muncul ke panggung demokrasi sesungguhnya. Siapakah mereka? Native democracy adalah generasi yang tidak pernah mengalami masa lalu. Hanya mengalami masa kini dan masa depan. Siapakah mereka? Mereka di antaranya adalah Anda-Anda para native democracy tersebut.
Tentu saya tidak ingin para mahasiswa yang memiliki kecerdasan lebih dibandingkan generasi muda lainnya berfikir sempit. Marilah kita berfikir besar.Keilmuan yang kita pelajari baik ekonomi, manajemen, keuangan, politik, pemerintahan, teknik dan sebagainya marilah kita jadikan sebagai jembatan menuju tujuan kita yang lebih besar di masa depan. Tidak pernah terpaku seseorang harus menjadi sebagaimana yang ia pelajari di kampus-kampus. Mahathir Muhammad itu seorang dokter, dia bukan seorang mahasiswa yang pernah duduk di fakultas pemerintahan atau fakultas ilmu politik. Tetapi siapa yang kemudian meragukan kehandalannya memerintah dan memahami perpolitikan di negerinya.
Soekarno adalah seorang engineer, tapi siapa yang meragukan kepiawaiannya dalam politik memimpin negaranya. Soeharto adalah seorang jenderal, dan lain sebagainya saya tidak akan menyinggung satu-persatu. Saya punya seorang teman, ketika di Belanda tahun 1990-an dia merupakan mahasiswa Teknik Perkapalan. Kemudian dia pulang ke Indonesia dan bekerja di PT PAL. Namun saat reformasi tidak ada pekerjaan, kemudian dia keluar dan sekarang telah menjadi eksportir besar. Padahal keahliannya perkapalan. Maka untuk jadi seorang eksportir tidak harus berasal dari fakultas ekonomi. Bahkan ternyata pebisnis-pebisnis besar di negeri ini kebanyakan adalah lulusan fakultas teknik.
Jadi silakan siapapun di antara kita dan dari manapun kita berasal, menghadirkan cita-cita besar sesuai dengan ilmu yang kita pelajari atau tidak, tidak ada persoalan. Tetapi ini bukan berarti saat menggeluti ilmu yang tengah kita pelajari ini tidak serius. Harus serius. Sebab dengan keseriusan itu akan membuka jendela informasi, pengetahuan dan pengalaman untuk kehidupan masa depan. Yang penting kita harus hadirkan cita-cita besar pada hari ini. Sebab kaidahnya, menurut Ibnu Khaldun, tidak pernah ada orang besar tanpa cita-cita besar, tidak pernah ada bangsa besar tanpa cita-cita besar. Bangsa besar adalah sebuah bangsa yang anak-anak bangsanya bercita-cita besar. Mustahil jika anak-anak yang menghuni sebuah bangsa tidak bercita-cita besar maka negerinya akan menjadi bangsa besar. Maka bangsa Indonesia yang besar ini akan besar di mata dunia manakala anak-anak bangsanya bercita-cita besar. Dan tidak mungkin seseorang bercita-cita besar tanpa memiliki pengetahuan yang besar.
Hadirin sekalian, Ibnu Khaldun membangun sebuah kaidah peradaban. Kata Ibnu Khaldun, seseorang di bumi ini tidak akan pernah melewati pengetahuannya. Saat pengetahuan kita hanya 1 meter, maka prestasi maksimal yang kita lewati hanya 1 meter. Saat pengetahuan kita 1 kilometer, maksimal lompatan prestasi kita di angka 1 kilometer tersebut. Semakin panjang dan banyak pengetahuan kita, ruang kemungkinan berprestasi semakin besar di hadapan kita seiring-sejalan dengan besarnya pemahaman, pengetahuan dan cita-cita kita. Itu sebenarnya yang seharusnya dilakukan pelajar dan mahasiswa. Itulah bedanya seorang mahasiswa dengan yang bukan mahasiswa atau kaum terpelajar.
Oleh karena itu, di manapun di bumi ini para kaum terpelajarlah yang memotori pergerakan. Hanya saja perlu saya kemukakan di sini bahwa pada saat ini pragmatisme kehidupan sangat tinggi. Boleh jadi kaum terpelajar boleh disebut terpelajar tapi seringkali pragmatisme kehidupan melingkupinya.Sehingga boleh jadi dia punya pengetahuan banyak namun cita-citanya tercukupi oleh prestasi pribadinya. Cukup secara ekonomi mapan, punya anak istri, dan lain sebagainya. Jika cita-cita kaum terpelajar hanya sampai di situ, kata Imam Ghozali, kaum terpelajar seperti itu masih tergolong kaum kerdil. Namun kaum terpelajar tidak kerdil manakala cita-citanya besar sebesar pengetahuan yang dia miliki.
Hadirin sekalian, dalam kategori kesalehan di mata Tuhan Yang Maha Kuasa, para pakar pemikir Muslim membagi ketaqwaan menjadi dua jenis ketaqwaan. Yang pertama ketaqwaan individual. Ketika seseorang sudah beriman pada Tuhannya dan beribadah sesuai perintah Tuhan dan Nabinya, kemudian dia hidup menjadi anggota masyarakat yg baik, sampai pada titik itu dia layak disebut sebagai orang baik.
Namun kebaikan dan kesalehannya baru sebatas kesalehan individual. Ternyatadi hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa ukuran hebat dan besarnya seseorang bukan diukur dari prestasi/kesalehan individualnya namun dari prestasi/kesalehan sosialnya. Maka mari kita bangun pengetahuan yang sangat banyak untuk diejawantahkan sebagai kesalehan individu dan kemudian kita melakukan transformasi dari kesalehan individu menjadi kesalehan sosial yang lebih besar lagi. Sehebat apakah posisi seseorang di hadapan Allah? Ternyata kaidahnya adalah semakin hebat prestasi/kesalehan sosialnya, semakin hebat kedudukannya di mata Allah swt.
Itulah yang kita fahami dari sabda Nabi: “khairunnaas anfa’uhum linnaas..”. Sebaik2 manusia di hadapan Tuhan adalah manusia yang paling banyak memberi manfaat bagi manusia lainnya. Semakin banyak kehadiran kita dirasakan manfaatnya oleh orang lain, semakin besar kesalehan sosial kita di hadapan Allah swt. Ketika kita hadir di sebuah kawasan atau tempat dan orang di sekitar kita merasakan manfaat kehadiran kita, itulah kesalehan sosial. Semakin banyak orang merasakan manfaat dari kehadiran kita, semakin tinggi kesalehan sosial kita di hadapan Allah swt. Jika kita hubungkan dengan urusan surga, semakin tinggi kesalehan sosial berarti semakin tinggi pula kans kita masuk surga.
Memang harus dihubung-hubungkan, soalnya kita mau ke akhirat kan? Bukan karena saya gubernur dari fakultas syariah kemudian bicara seperti itu. Siapapun harus bicara seperti itu. Nanti pada bilang: “pantas Pak Gubernur dari fakultas syariah terus bilang kayak gitu”. Bukan seperti itu. Tapi sebenarnya ini juga membuktikan bahwa seseorang dari fakultas syariah bisa jadi gubernur J. Paling tidak menepis sebuah keraguan karena dulu tahun 2008 saat pertama kali menjadi gubernur semua orang ragu, bahkan seorang inohong dari Bandung mengatakan: “ini anak laleho dari Sukabumi mau ngapain?”. Tahu laleho kan? Anak kecil, gitu. Saya tidak pernah menjawab tapi saya jawab dengan sebuah pekerjaan dan perilaku.
Hadirin sekalian, mengapa kita juga harus mengurus urusan demokrasi yang sangat penting itu? Sebab tidak pernah ada sebuah keputusan di bumi ini tanpa ada keputusan politik terlebih dahulu. Seringkali ada sebuah situasi dimana semakin terpelajar semakin tidak peduli pada urusan demokrasi dan politik. Padahal mana ada sebuah karya, program lapangan dan kegiatan tanpa keputusan politik? Termasuk DEYS (Democratic and Economic Youth Summit 2013-pen.) juga sebuah keputusan politik.
Bukankah ada musyawarah dan diskusi terlebih dahulu? Saya yakin perencanaan DEYS lebih panjang daripada pelaksanaannya. Pelaksanaannya hanya dua hari. Perencanaannya? Bikin proposalnya? Cari dananya? Seluruhnya adalah keputusan politik. Kemudian sampai terlaksana DEYS tersebut dari kemarin sampai hari ini. Saya lihat untuk ukuran masyarakat Indonesia di luar negeri, DEYS ini termasuk sangat berhasil. Jangan bayangkan saat ini seperti awal abad ke-20 saat Muhammad Hatta membangun Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Negeri Belanda.
Muhammad Hatta dulu yang direkam sejarah mendirikan PPI Belanda kemudian mengadakan seminar dan perlawanan intelektual pada penjajahan. Kira-kira apa yang dilakukan Muhammad Hatta pada awal abad ke-20 itu seperti DEYS ini. Padahal dulu lebih sederhana dan pelajar baru sedikit kan? Coba lihat di foto sejarah ketika Muhammad Hatta sedang rapat di Den Haag, orangnya sedikit kan? Banyakan DEYS daripada zaman Muhammad Hatta. Di zaman Muhammad Hatta dengan masyarakat Indonesia di Belanda sesedikit itu ternyata bisa menghasilkan Indonesia merdeka, tentu dengan komponen yang lain. Saya yakin DEYS ini jika dikelola dengan baik kemudian terus diskusi untuk menghasilkan gagasan-gagasan besar, mudah-mudahan prestasi DEYS ini lebih hebat daripada prestasi Muhammad Hatta di awal abad ke-20.
Saya juga apresiasi DEYS kali ini karena mengangkat persoalan demokrasi dan ekonomi. Itu adalah pokok persoalan bangsa kita sekarang ini. Kita bersepakat berdemokrasi untuk memperbaiki ekonomi dan kesejahteraan kan? Justru menjadi persoalan jika demokrasi tidak menghasilkan kesejahteraan.
Bangsa kita bersepakat memilih demokrasi untuk kesejahteraan. Demokrasi ini ke depan perlu diisi oleh orang-orang yang handal dengan idealisme dan nasionalisme sangat tinggi. Hadirnya para pelaku pemerintahan dan negara yang mengelola dengan cara tidak benar (korupsi dsb) itu akibat ruang demokrasi diisi oleh orang-orang yang tidak beridealisme tinggi. Demokrasi kita akan bersih dan tidak kotor saat pengisi demokrasi itu adalah orang-orang yang memiliki idealisme yang sangat tinggi. Jadi pertanyaannya, kapan demokrasi Indonesia akan tangguh? Kapan politik Indonesia akan bersih? Jawabannya saat orang-orang tangguh dan bersih mengisi ruang-ruang demokrasi itu. Mari kita isi ruang-ruang itu agar kesan kesan kotornya demokrasi dan politik hilang karena pengisinya adalah orang-orang tangguh dan bersih.
Hadirin sekalian, ternyata sampai hari ini kita masih bersepakat bahwa lembaga atau institusi bernama negara paling kuat memberi manfaat pada masyarakat banyak. Belum ada thesis atau disertasi yang lain. Sebuah thesis diungkapkan oleh Al-Mawardy pada abad ke-6 hijriah dalam sebuah buku berjudul “Al-Ahkam As-Sulthoniyah” atau “Kaidah-kaidah Kekuasaan” atau lebih enak diterjemahkan sebagai “Kaidah-kaidah Politik”.
Al-Mawardy mengatakan bahwa ketika seseorang berjuang sendirian, manfaat yang akan ditimbulkannya juga kecil. Seseorang ketika berjuang lewat organisasai, manfaatnya semakin besar. Semakin besar seseorang menggunakan organisasi dalam memberikan manfaat bagi orang banyak, semakin besar pula dampak manfaatnya bagi orang banyak. Kemudian kata beliau, di antara lembaga/organisasi2 yang digunakan untuk berjuang memberi manfaat kepada orang banyak ternyata lembaga negaralah yang paling memungkinkan berbicara banyak dan berbuat masif bagi masyarakat sebanyak-banyaknya. Oleh karena itulah kesimpulannya adalah negara ini yang berdemokrasi, ruang-ruang demokrasi dan ruang-ruang negara itu harus diisi oleh orang-orang yang handal. Tentu jika saya sebut ruang-ruang demokrasi bukan hanya hadir di parlemen dan pemerintahan.
Di ekonomi, bisnis dan perdagangan pun hadir. Yang penting dalam kerangka demokrasi itu kita hadir di bidang manapun. Saya punya pengalaman dulu sebelum jadi gubernur. Dulu di Jakarta saya punya yayasan yang mengelola anak yatim. Di DKI Jakarta kita berjuang SD-SMP bebas SPP tahun 2006. Saya masuk ke parlemen tahun 1999, tahun 2000 saya membuat yayasan untuk anak yatim dan dhuafa. Saya punya sekitar 100-160 anak yatim dan dhuafa, kini sebagiannya sedang S1 dan S2 dan wajah yatimnya sudah tidak terlihat lagi.
Saya melarang betul jika dia berkata: “saya anak yatim”. Apa sebabnya? Sebab kalimat itu adalah kalimat yang akan merendahkan dirinya. Saya tidak pernah mengatakan mereka “hei anak yatim” agar jiwa mereka tidak lagi merasa yatim dan dhuafa. Itu yang paling penting. Sebab kedhuafaan jiwa akan menghadirkan kedhuafaan segalanya. Kelemahan jiwa akan menghasilkan kelemahan segalanya. Ada seorang profesor dari Mesir meneliti tentang kemiskinan di dunia ketiga, khususnya dunia ketiga yang mayoritas beragama Islam.
Dia meneliti Bangladesh, Pakistan termasuk Indonesia. Dia menemukan fakta bahwa orang-orang miskin itu memiliki karakter miskin sebelum berstatus miskin. Artinya jika status miskinnya diselesaikan namun karakter miskinnya tidak diselesaikan, maka dia akan tetap miskin. Diberi modal kerja sebanyak apapun sepanjang karakternya tetap miskin, dia akan tetap berstatus miskin. Jadi status miskin itu ternyata hadir dari karakter yang miskin.
Saya kembali ke yayasan tadi. Saya berusaha membantu membayari SPP mereka setiap bulan, ternyata membayari SPP 160 orang lumayan berat juga untuk seorang Ahmad Heryawan sebagai anggota DPRD. Pokoknya tiap akhir bulan mengedarkan proposal kesana-kemari supaya awal bulan kita bisa mendanai SPP mereka. Itu dilakukan sampai tahun 2006 karena tahun itu sudah selesai. Tahun 2006 di DKI Jakarta untuk SD-SMP sudah digratiskan, tinggal SMA yang belum.
Hadirin sekalian, saya ingin mengatakan bahwa ketika kita berjuang lewat kelembagaan yang bernama yayasan, seperti itulah kekuatannya. Ketika menjadi gubernur, ditandatanganilah sebuah keputusan untuk mendanai SD-SMP lewat BOS yakni gabungan BOS pusat dengan BOS provinsi. Alhamdulillah yang gratis bukan 160 orang lagi tapi 7,6 juta orang. Ini keputusan politik kan? Bayangkan jika seseorang benci politik dan urusan politik. Tidak ada keputusan politik kan? Jadi apapun keadaannya ketika politik itu berwajah jelek karena pelakunya berwajah jelek. Coba jika pelakunya berwajah idealisme dan visioner, lain ceritanya kan? Karena itulah saya berharap para mahasiswa semuanya hadir menjadi pengisi ruang-ruang demokrasi, ruang-ruang civil society, termasuk ruang-ruang dunia usaha dan media.
Hari ini saya harus mengumumkan thesis yang lain. Jika kita belajar Trias Politica pada hari ini, pembicaranya tidak berbicara sekuat pada masa kita belajar PMP atau IPS di SD-SMP-SMA dulu kan? Karena sekarang sudah berubah situasinya. Trias Politica hanya diwakili oleh negara pada hari ini. Dulu 3 pihak: eksekutif, legislatif, yudikatif. Sedang sekarang sudah 1 pihak kan? Itulah pemerintah, itulah negara. Dan sekarang kekuatannya sudah lebih mengecil seiring-sejalan dengan perkembangan pengetahuan dan pemberdayaan masyarakat yang ada. Ketika masyarakat berdaya, ternyata peran negara makin mengecil meskipun peran negara untuk memasifkan program-program tidak bisa tertandingi. Tidak mungkin ada 1 yayasan yang menggratiskan SPP 1 kabupaten. Tidak mungkin ada ormas yang menggratiskan SPP SMP-SMA 1 kabupaten, kecuali negara atau pemerintah. Itu tidak mungkin tertandingi. Tetapi pada posisi-posisi yang lain sekarang sudah mulai tertandingi karena ada kesetaraan antara masyarakat dengan negara. Sesungguhnya itulah yang kita inginkan. Itulah masyarakat elegan dan egaliter yang kita inginkan.
Jika ada kekuatan negara, maka ada kekuatan lain pada hari ini. Pertama kekuatan negara, kedua adalah kekuatan civil society. Civil society pada hari ini bisa mempengaruhi kebijakan negara. Contohnya, saya diminta segera pulang ke Bandung karena demo buruh sedang menghebat hari ini. Karena UU Perburuhan kita mengharuskan ada perubahan upah minimum kabupaten-kota setiap tahun. Setiap tahun pulalah terjadi sedikit kericuhan. Mengapa itu terjadi ? Gara-gara dulu tokoh serikat buruh jadi menteri, kemudian membuat UU seperti ini. Kadang-kadang memang kekuatan civil society menggunakan celah kelemahan UU yang ada.
Yang penting, saya ingin mengatakan bahwa memang civil society sekarang memiliki status, kedudukan, fungsi dan kekuatan yang sangat kuat pada hari ini. Itu yang kedua. Yang ketiga, pada hari ini hadir kekuatan modal. Jika pada masa lalu negara adalah lembaga yang paling banyak punya uang, sekarang tidak. Sekarang swasta memiliki lebih banyak uang daripada negara. Oleh karena itu jika ada jalan tol diswastakan dimana-mana, kereta api diswastakan dimana-mana, dan negara hanya masuk di urusan tarif dan subsidi dan sebagainya karena memang hari ini keuangan swasta lebih besar daripada keuangan negara. Dan keuangan negara ke depan hanya fokus pada urusan pelayanan publik. Kemudian yang keempat adalah kekuatan media. Media pada hari ini luar biasa. Seseorang bisa dipersepsi positif atau negatif tergantung media. Seseorang dikenal sebagai seorang berprestasi hebat padahal belum berprestasi apa-apa gara-gara media. Kira-kira seperti itu. Yang lebih hebat pada hari ini ada sekelompok orang yang memiliki kekuatan berlapis. Dia punya media, bermodal besar, main di politik pula. Tidak menjadi persoalan sepanjang negara, civil society, modal dan media dikendalikan oleh orang baik-baik.
Harapan saya sekali lagi, seperti yang saya kemukakan kemarin, harapan masih ada. Turki ini pernah jaya luar biasa dan pernah hancur luar biasa. Tahun 1924 adalah kehancuran Turki. Imperium Turki yang sampai Saudi Arabia, Lebanon, Kuwait, Mesir, Sudan seluruhnya di bawah imperium Turki Utsmani.
Tahun 1924 itu semua meretel, tinggal kawasan Turki saja. Balkan pun yang di bawah Turki juga lepas. Orang-orang juga sangat pesimis Turki bisa jadi seperti sekarang ini, tapi ternyata kebangkitan dan kebangkitan terjadi. Belum 100 tahun, karena 100 tahun itu seharusnya tahun 2024.
Sekarang masih tahun 2013, Turki sudah seperti ini akan kembali seperti masa lalu. Namun Indonesia pun masih punya harapan karena sekali lagi harapan itu masih ada. Rumpun besar yang belum kebagian jatah kepemimpinan adalah Melayu. Dan Melayu adalah Indonesia. Saya bicara seperti ini hanya ingin membawa sebuah harapan bahwa kita bisa menjadi orang-orang hebat dan negara hebat di masa depan, insyaAllah.
Mari kita hadirkan semangat Sumpah Pemuda. Mari kita hadirkan semangat Boedi Oetomo. Mari kita hadirkan semangat Sarikat Islam. Mari kita hadirkan semangat proklamasi, semangat Soekarno-Hatta, semangat semua orang-orang yang punya semangat untuk menghadirkan semangat dalam diri kita. Dan kita bercita-cita untuk membangun Indonesia yang lebih maju, Great Indonesia di masa yang akan datang.
Ahmad Heryawan, Gubernur Jawa Barat.
Dalam Gala Dinner bersama mahasiswa Indonesia di Turki
27 Oktober 2013 di Hamdi Restaurant, Eminönü, İstanbul.
0 komentar:
Post a Comment