Islamedia - Sumpah Pemuda yang dideklarasikan saat Kongres Pemuda II tahun 1928 memang fenomenal. Sebabnya, sumpah itu menjadi simbol persatuan bangsa Indonesia. Yang mencetuskannya adalah para pemuda yang semangatnya menyala-nyala.
Banyak yang menganggap bahwa pemuda itu belum tua. Ya iya laaaah... Maksudnya belum dewasa dan pikirannya belum panjang, belum banyak makan asam garam. (Kecuali yang hobinya kuliner kali ya). Untuk bersatu, harus bisa menyingkirkan ego yang biasanya sedang besar-besarnya di masa muda. Nah, bisa mengikrarkan bersatu, berarti mereka mampu berbuat melampaui kondisi usia mereka. Luar biasa.
Yah, itu lah sejarah. Mereka peserta Kongres Pemuda memang orang-orang hebat. Tapi gimana dengan kita, pemuda yang hidup di zaman ini? Hellooo... (Waduh, jangan mulai alay deh)
Ada ga yang membuat anak muda sekarang hobi berpecah belah (Emang gelas?) ? Banyak! Semuanya berpangkal dari perbedaan, yang memang ga bisa dihindari dalam hidup ini. Tapi kan moto bangsa kita "Bhineka Tunggal Ika."
Perbedaan sekolah aja harus "dirayakan" dengan tawuran. Entah kenapa kok mereka yang tawuran itu bisa benci banget dengan orang lain yang berbeda sekolah? Apakah semua orang harus satu sekolah dengan dia supaya tidak diajak berkelahi?
Yang paling sering adalah kerusuhan sepakbola.
Masyarakat kita ekstrim sekali membela timnas sepakbola sehingga harus mencaci maki negara lain saat ada pertandingan antar negara. Apalagi dengan negara tetangga. Padahal sepakbola itu olahraga yang tujuannya supaya badan sehat. Kenapa hatinya dibiarin sakit karena membenci lawan?
Itu tadi di level timnas. Apakah alasannya karena ga ada sumpah persatuan dengan negara lain? Oh, kita punya sumpah bersatu dengan bangsa sendiri? Lantas kenapa antar suporter klub dalam negeri juga sering sekali rusuh?
Turun level dari timnas, ada pertandingan antar klub dalam negeri. Lagi-lagi gengsi dominan. Hanya karena berbeda klub, terjadi saling benci, bermusuhan, hingga tawuran. Waduh, dikemanakan sumpah pemuda puluhan tahun lalu?
Turun lagi ke level antar kampung. Di pertandingan sepakbola antar kampung pun tak jarang juga terjadi permusuhan. Lagi-lagi karena berbeda. Ada perbedaan kesebelasan yang didukung sehingga terjadi adu gengsi yang berujung kerusuhan.
Pertandingan antar sekolah juga rawan permusuhan. Pertandingan antar kelas pun tak jarang juga berujung dengan perpecahan.
Mungkin, zaman penjajah dulu para pemudanya menemukan musuh yang sama. Common enemy. Yaitu penjajah. Sehingga para pemuda masa itu bisa menyingkirkan ego dan mau bersatu.
Ya mirip dengan hierarki pertandingan bola. Antar kelas yang tadinya bersaingan, harus bersatu karena ada pertandingan melawan sekolah lain. Antar sekolah yang tadinya bermusuhan, harus bersatu karena mendukung klub bola yang sama di kotanya. Dan antar suporter klub yang bermusuhan, harus bersatu saat mendukung timnas. Saat ada musuh yang sama, di situ persatuan terjalin. Waduh.
Tapi hal seperti ini tidak sehat. Sekali ikrar terucap, maka harus komit. Tapi kalaupun harus ada musuh bersama, apa itu?
Ada kemiskinan, ada kebodohan, ada ketidak berdayaan. Itu adalah hal yang bisa dijadikan musuh bersama oleh bangsa ini. Tapi mungkin kurang terdengar seru. Apakah musuh itu harus berupa sesuatu yang bisa saling benci dan kontak fisik?
Lagian sebenernya negara kita masih "terjajah" kalau mau direnungkan lebih dalam. Lihat sumber daya alam berupa minyak, gas, dll. Siapa yang menguasai? Bangsa asing. Ini bisa kita jadikan common enemy untuk bersatu.
Perlawanan yang dihadirkan bukan dalam bentuk kontak fisik. Tapi kita saling bahu membahu agar anak bangsa terdidik, sumber daya manusia berkualitas melimpah, hingga tanah air kita yang satu bisa kembali ke pangkuan bangsa sendiri.
Ada banyak lagi alasan untuk bersatu dalam artian hidup rukun dengan sesama anak bangsa. Karena bersatu atau tidak juga bukan dari common enemy, tapi dari niatan tulus di dalam hati. Maukah ?
Zico Alviandri
0 komentar:
Post a Comment