Searching...
Select a Page
Friday

Hey

 

                                         Dakwatuna.com
 

dakwatuna.com – Tanpa disadari, kita bernafas di bumi yang terbalik. Kini. Manusia tengah berada di puncak cemerlang kecerdasannya. Simbol-simbol yang dianggap mulia adalah segala pernak-pernik kehebatan akademik. Yang dengannya manusia merasa bangga ketika mampu menciptakan aturan-aturan dalam kehidupan. Dengan kecerdasannya pula, manusia berani menepis garis aturan yang dibentangkan oleh Tuhan, menggantinya dengan aturan baru. Jelas, aturan baru itu kini dianggap seolah lebih hebat. Lagi-lagi, sikap manusia memang keterlaluan.

Termasuk kecondongan yang bergeser itu merugikan bagi para pemuda. Mereka yang hatinya bisa merasakan kerancuan itu harus rela tertahan dan tertawan. Seringkali niat baik mereka tertunda realisasinya sebab masyarakat sulit menerima. Padahal, mereka benar.

Mari kita lihat salah satu bentuk kerancuan itu…

Di pojok sana, seorang pemuda tengah melamuni keadaannya. Sejak lama, ia terjerembab terperosok ke dalam lubang berbahaya yang ia gali sendiri. Bersama seorang gadis dekat nan jelita di matanya. Bertahun-tahun sudah kebersamaan itu mereka bangun. Selama itu, tak pernah ia berpikir bahwa kebersamaan itu sebenarnya tidak diperkenankan. Yang ia tahu, selalu ada kebaikan di setiap saat ia bisa menjaga diri. Membatasi diri, singkatnya.

Tetapi, petunjuk telah menyapanya. Tersadarlah ia, bahwa ia keliru. Tidak ada kehalalan di dalam hubungan mereka. Selagi akad belum digemakan. Masih di pojok sana, ia membangun rencana untuk segera menikahi sang gadis pujaan. Segera. Sebab, tak mungkin baginya meninggalkan begitu saja. Ia sudah dekat pula dengan keluarga sang gadis. Tidak hanya itu, seolah hubungan di dalam keluarga sudah terbangun kokoh. Meski… ikatan suci belum mempertemukan.

Tidak ada keinginan lain, ia hanya ingin menikah sekarang. Godaan-godaan, jarak yang terlanjur mendekat, dan bisikan-bisikan lain ia khawatirkan dapat meruntuhkan kebaikan di dalam hatinya. Bukan hanya dirinya seorang yang akan memikul dosa, tetapi keluarganya, juga keluarga si gadis. Ia sadari itu sepenuh hati.

Tak tahan menunda-nunda, ia pun ingin segera menyampaikan keinginan dan hasratnya yang menggebu-gebu. Tentu saja, pertama-tama ia harus mengabarkan perihal ini kepada Ayah dan Bundanya. Pelan-pelan ia menjelaskan keputusan dirinya. Namun, belum selesai ia berbicara, kata-katanya harus terhenti oleh pertanyaan telak, “Istrimu mau dikasih makan apa, hah? Lagian… kamu juga masih kuliah. Apa mau disia-siain tuh kuliah?!! Umurmu masih muda. Makan aja masih minta ke orangtua. Bagaimana mau ngasih makan anak orang?”

Tajam sekali pertanyaan itu menukik di dalam hatinya. Seolah ia baru saja ditampar keras sekali, sehingga ia tersadar bahwa ada lagi yang harus ia pertimbangkan. Soal nafkah..

Dalam sebuah hadits, Rasulullah menyeru para pemuda. “Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang telah sanggup menafkahi, hendaklah ia menikah. Sesungguhnya, yang demikian itu lebih mampu menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan, barangsiapa yang tidak mampu, hendaklah ia berpuasa. Sesungguhnya, yang demikian itu adalah benteng baginya.”

Sungguh, kali ini ia harus berbentur-benturan dengan begitu banyak tanya yang menyibukkan benaknya. Tidak mungkin baginya untuk mundur, tidak mungkin pula baginya mempertahankan kedekatan di dalam hubungan yang tidak jelas tumpuannya. Soal nafkah, ia sudah memutuskan untuk meneruskan usaha kecil-kecilan sambil kuliah. Memang, ia terkenal aktif dalam berwirausaha. Hanya saja, karena gengsi yang melangit, sempat usahanya ia hentikan. Kali ini, ia bertekad akan memulai lagi. Insya Allah, hasilnya bisa menopang hidupnya.

Lagi pula, tidak pantas baginya untuk berkeluh kesah. Sebab Allah sudah menetapkan bahwa barangsiapa yang dengan ikhlas dan tulus melaksanakan perintah-Nya ini, maka Allah akan membantunya. Allah akan memudahkan urusannya. Dan, Allah akan mengayakannya dengan rizki-Nya.
Keyakinannya kokoh lagi, kembali ia pada kedua orangtuanya dengan pertanyaan yang sama. Dengan lugas, ia menyatakan bahwa keinginannya itu akan segera ia wujudkan untuk menjaga kesucian diri yang sempat ternodai. Ia tak ingin bertambah lama di dalam kubangan lumpur dosa dan maksiat. Berkat kegigihan dan kesungguhannya, orangtuanya pun luluh dan meridhai niatnya.
Beberapa tantangan sudah ia kalahkan, selanjutnya adalah giliran calon mertua yang harus ia datangi. Kali ini, dengan nada yang sama lembutnya, ia bertutur tentang keinginannya.

“Kami bisa menerima niat baik dan kesungguhanmu, Nak.” Tutur Ayah sang gadis menjawab. Ia berhenti sejenak. Kemudian, selang beberapa detik, ia melanjutkan. “Tetapi, kami tidak dapat mengizinkan untuk menikah sebelum tamat kuliah. Usia kalian masih terlalu muda. Lagi pula, biaya untuk menikah itu tidak murah. Belum lagi kalau berbicara tentang nafkah nantinya. Selama ini kan kamu belum punya usaha? Belum ada penghasilan tetap dan cukup. Kami belum berani memberikan izin.”

(Gedubrak!!!!)

Untuk penggal jawaban pertama, pemuda ini sudah bisa membuncahkan senyuman sumringah. Tetapi, setelah sekian detiknya, penggal jawaban berikutnya membuatnya luruh. Keinginan itu tak dapat menepi di tepian yang semestinya.

Sebenarnya ia bisa menerima mengapa Ayah sang gadis tidak mengizinkan mereka menikah. Ia punya tanggung jawab untuk memilihkan calon pemimpin yang layak dan cakap untuk putrinya. Ia wajar, bila takut putrinya sengsara.

Dengan berat hati, sang pemuda meninggalkan pelataran rumah gadis pujaan.
Ia pulang membawa tekad yang semakin kokoh dan mantap. Bukan putus asa. Ia berusaha untuk membuktikan bahwa ia memang layak. Ia menjalankan kembali usaha berdagang kecil-kecilannya. Hingga, beberapa bulan, sudah terkumpul tabungan yang cukup untuk menikah dan berwalimah sederhana.

Kembali lagi, ia menemui calon mertua di kediamannya.

“Maaf, Nak… Kami juga belum bisa mengizinkan. Baiknya, kalian tamat kuliah dahulu. Rumahnya belum dibangun, kan? Mau tinggal di mana nanti???” Ujar Ayah sang gadis.

Kali ini, pemuda itu tak sabar. “Dasar matre!!!” Cetusnya seraya meninggalkan rumah gadis itu.
Mungkin keadaan seperti itu juga kerap terjadi di mana-mana. Ya, begitulah… Rasulullah tidak pernah memikulkan beban sebegitu berat bagi para pemuda yang telah berkeinginan untuk menikah. Adalah sebuah kebaikan untuk segera melaksanakan sunnah Rasulullah itu. Tetapi, pada kenyataannya, telah banyak terjadi penyelewengan di kehidupan kita sekarang ini. Ada yang mempersyaratkan penghasilan mapan, rumah layak, dan kendaraan. Padahal, yang dipersyaratkan itu sering tidak proporsional. Sering sekali syarat-syarat yang ditetapkan itu bersifat ekspektatif.

Lupakah kita pada kisah pernikahan Ali bin Abi Thalib dengan Fathimah Az Zahra, misalnya?

Sungguh, pernikahan itu adalah bagian dari pernikahan paling mulia di hadapan Allah, Rasul-Nya, dan kaum Muslimin yang menyaksikan. Dari pernikahan itu, dilahirkan banyak sekali ulama dan pejuang agama Allah ini. Kenanglah, pernikahan itu bermula dengan tergadainya baju perang milik Ali. Rumah yang mereka tumpangi adalah rumah seorang sahabat yang memberikannya dengan seikhlas hati. Tetapi, oleh Rasulullah ditegaskan, rumah itu hanya boleh diterima dengan status utang. Bukan semata-mata pemberian cuma-cuma. Padahal, sudah ada dua orang sahabat terbaik yang melamar Fathimah. Tidak hanya terbaik, mereka juga mapan finansial. Jauh lebih mapan dibanding Ali.
Begitulah… semoga kita bisa memandang dan menetapkan nilai-nilai dengan baik. Bukan semata-mata mengikuti kebiasaan yang tak jelas asalnya dari mana. Terimalah kebaikan dengan penerimaan yang baik. Musnahkanlah keburukan dengan berpegang pada kebeningan prinsip dan ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya…


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/10/31/41411/para-pemuda-di-tengah-dunia-yang-terbalik/#ixzz2jHoJMrB9
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

 

0 komentar:

Post a Comment

« »
Get widget