Segala puji hanyalah milik Allāh ‘Azza Wa Jalla, yang segala perkara ada di tangan-Nya. Ṣalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullāh ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, yang lebih memilih apa yang ada di sisi Allah dibandingkan dunia dan seisinya.
Dari Jabir raḍiyallāhu ‘anhu, Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تتمنوا الموت فإن هول المطلع شديد وإن من السعادة أن يطول عمر العبد ويرزقه الله الإنابة
“Janganlah kalian mengangankan kematian! Sesungguhnya peristiwa kematian itu sangat menakutkan! Diantara bentuk kebahagiaan adalah seorang hamba memiliki umur yang panjang sementara Allāh anugerahkan untuk dirinya taubat kepada Allāh” (HR. Ahmad. Hadiṡ ini disebutkan oleh Al Haiṡami dalam Majma’uz Zawā-id (10/203 dan 334), beliau mengatakan, “Diriwayatkan oleh Ahmad dan Al Bazzār dengan sanad yang jayyid”)
Mengangankan kematian memiliki beberapa bentuk :
- Berharap mati karena dirinya sedang ditimpa musibah duniawi.
Jika alasannya seperti ini, maka seseorang tidak boleh mengangankan kematian. Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا يتمنين أحدكم الموت لضر نزل به فإن كان لا بد فاعلا فليقل: اللهم أحيني ما كانت الحياة خيرا لي وتوفني إذا كانت الوفاة خيرا لي
“Janganlah ada salah satu dari kalian yang mengangankan kematian karena sebab musibah yang menimpanya. Jika memang tidak tahan dengan musibahnya, hendaknya mengatakan, “Ya Allāh, hidupkanlah aku seandainya hidup itu baik bagiku. Dan wafatkanlah aku seandainya wafat itu lebih baik bagiku” (Muttafaqun ‘alaihi)
Orang yang mengangankan kematian ketika musibah duniawi sedang menimpanya adalah orang yang ingin segera lepas dari perihnya musibah yang sedang ia alami. Padahal ia tidak tahu kemana ia akan dibawa setelah mati. Boleh jadi kematian justru menyeretnya ke dalam musibah yang lebih besar lagi.
- Mengangankan kematian karena takut agamanya terancam.
Jika alasannya seperti ini, maka hal ini dibolehkan. Sebagaimana sebagian sahabat serta para imam kaum muslimin mengharapkan kematian karena takut agama mereka terancam. Sebagaimana dalam sebuah do’a yang ma-ṡur,
وإذا أردت بقوم فتنة فاقبضني إليك غير مفتون
“Jika Engkau ingin memberikan cobaan kepada sekelompok orang, maka wafatkanlah aku dalam keadaan agamaku tidak terfitnah” (HR. Tirmiżi no. 3233 dan 3234, dan lainnya)
- Mengangankan kematian karena mengharapkan syahid dalam medan jihad. Hal ini juga diperbolehkan. Telah banyak kisah yang menceritakan semangat para sahabat dalam menggapai status syuhada di medan jihad.
- Mengangankan kematian bagi orang yang telah banyak amalannya karena rindu akan perjumpaan dengan Allāh ‘Azza wa Jalla. Hal ini juga diperbolehkan.
Abu Dardā mengatakan, “Aku menginginkan kematian karena rasa rindu kepada Rabb-ku”.
Ada juga yang mengatakan, “Jiwaku tidak akan menganggap kematian itu baik kecuali jika aku ingat akan pertemuan dengan Allāh ‘Azza wa Jalla. Barulah ketika itu aku merindukan kematian sebagaimana rindunya orang yang sangat haus di hari yang sangat panas kepada air yang sangat dingin”.
Di dalam hadiṡ, Nabi berdo’a,
أسألك لذة النظر إلى وجهك وشوقا إلى لقائك
“Aku mohon kepada-Mu untuk merasakan lezatnya memandang wajah-Mu dan merindukan perjumpaan dengan-Mu” (HR. Ahmad, An Nasā-I, Al Hākim, dan beliau menilainya ṣahih dan disepakati oleh Aż Żahabi)
Adapun orang yang bermaksiat, ia akan berusaha lari dari kematian, lari karena membenci pertemuan dengan Allāh. Tapi kemanakah hendak berlari orang yang berada di genggaman Żat yang terus mengawasinya??
Abu Hazim ditanya,
“Bagaimanakah suasana perjumpaan dengan Allāh?”. Beliau menjawab, “Orang yang taat akan berjumpa dengan Allāh seperti orang yang kembali berjumpa dengan keluarganya yang merindukan kehadirannya. Adapun orang yang senang bermaksiat akan berjumpa dengan Allāh seperti berjumpanya budak yang kabur dengan tuannya yang marah kepadanya”
Setiap waktu yang berlalu di dunia ini adalah bulan puasanya orang yang bertaqwa. Sedangkan hari raya ‘iedul fiṭri mereka adalah ketika mereka berjumpa dengan Rabb mereka.
وقد صمت عن لذات دهري كلها … ويوم لقائكم ذاك فطر صيامي
Sungguh, aku telah berpuasa di seluruh waktuku dari kelezatan dunia…
Dan hari di mana kalian berjumpa dengan-Nya itulah waktunya aku berbuka…
Mengangankan kematian bukan karena faktor-faktor di atas
Jika seseorang berangan untuk segera menemui ajalnya bukan karena faktor yang telah disebutkan di atas, para ulama berselisih pendapat tentang hukum hal tersebut. Para ulama yang melarang hal tersebut berdalil dengan hadiṡ Jabir (di awal artikel-pen), di mana ada dua alasan dalam hadiṡ tersebut yang mendorong mereka melarang mengangankan kematian bukan karena faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya.
Pertama, peristiwa kematian itu sangat menakutkan.
Ketika itu, seseorang akan mengalami hal-hal yang belum pernah ia alami sebelumnya. Ia akan melihat datangnya malaikat maut, melihat amalannya, melihat tempat kembalinya, apakah surga atau neraka.
Dalam sebuah hadiṡ disebutkan,
إذا حملت الجنازة وكانت صالحة قالت: قدموني قدموني وإن كانت غير ذلك قالت: يا ويلها أين تذهبون بها يسمع صوتها كل شيء إلا الإنسان ولو سمعها الإنسان لصعق
“Jika jenazah orang ṣalih sedang dibawa, ia mengatakan, ‘Cepatlah…cepatlah…!’. Tapi jika si mayit bukan orang ṣalih, ia akan mengatakan, ‘Betapa celakanya! Kemana kan kalian bawa jenazahku??’. Semua makhluk akan mendengar suaranya kecuali manusia. Kalau saja manusia mendengarnya, pasti ia pingsan” (HR. Bukhari)
Di kala maut hendak menjemputnya, An Nakha’iy menangis. Ia mengatakan,
“Aku sedang menunggu malaikat maut… Sedangkan aku tidak tahu apakah malaikat akan memberiku kabar gembira dengan surga ataukah neraka!?”
Maka orang yang mengangankan kematian seolah-olah menginginkan dirinya segera merasakan musibah kematian. Padahal kita hanya diperintahkan untuk meminta keselamatan.
Ibnu ‘Umar mendengar ada orang yang sedang minta segera diwafatkan, lalu beliau mengatakan, “Jangan mengangankan kematian! Toh kamu nanti juga akan meninggal! Mintalah keselamatan kepada Allāh!”
Di akhir hayatnya, Habib Al ‘Ajmy menangis sembari mengatakan,
“Sesungguhnya aku akan safar ke negri yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya… Aku akan menempuh jalan yang belum pernah kulalui sebelumnya. Aku akan mengunjungi Pemilik-ku dan Pelindung-ku yang belum pernah kulihat sebelumnya. “
Ini adalah karena kekhawatiran mereka atas beratnya sakaratul maut. Sampai-sampai seorang ‘Umar mengatakan di akhir hayatnya,
“Seandainya seluruh isi bumi ini milikku, aku akan menebus sakaratul maut dengan hartaku tersebut”
Alasan kedua, bertambahnya umur seorang mukmin tidak akan menambahkan dirinya kecuali kebaikan.
Diantara bentuk kebahagiaan seorang mukmin adalah ia berumur panjang dan Allāh karuniakan rasa inabah kepada dirinya, bertaubat dari segala dosa yang ia lakukan, dan bersungguh-sungguh beramal ṣalih. Jika ia mengangankan kematian, berarti ia mengangankan terputusnya kesempatan beramal. Hal ini tidak layak ada pada diri seorang mukmin.
Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا يتمنين أحدكم الموت أما محسنا فلعله أن يزداد خيرا وإما مسيئا فلعله أن يستعتب
“Janganlah salah satu dari kalian mengharapkan kematian. Bisa jadi ia adalah orang baik, mudah-mudahan kebaikannya akan terus bertambah (seiring bertambahnya usia). Atau mungkin orang yang jahat, mudah-mudahan ia bertaubat” (HR. Bukhari)
Dalam riwayat Muslim,
لا يتمنين أحدكم الموت ولا يدع به من قبل أن يأتيه إنه إذا مات أحدكم انقطع عمله وإنه لا يزيد المؤمن عمره إلا خيرا
“Janganlah salah satu dari kalian mengharapkan kematian atau berdo’a segera diwafatkan sebelum ajal menjemput. Jika salah satu dari kalian meninggal, akan terputus amalannya. Usia seorang mukmin tidaklah menambahkan dirinya kecuali kebaikan”
Bersambung, insya Allāh…
(Disarikan dari Laṭā-if Al Ma’ārif, bab Waẓā-ifu Syahri Żilhijjah, Al Majlis Ar Rābi’ : fī ẓikri khitāmi-l ‘ām, Imam Ibnu Rajab Al Hanbali, dār Ibn Kaṡir. Tahqiq : Yāsīn Muhammad As Sawāl)
0 komentar:
Post a Comment