REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Manajer organisasi hak anak Terre des Hommes untuk Indonesia Sudaryanto mengatakan pengguna media sosial terutama anak-anak rentan mengalami kekerasan seksual.
"Isu kekerasan seks secara online pada anak di Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan Filipina. Di Filipina industri kekerasan seksual anak melalui webcam atau "Webcam Child Sex Tourism" sudah terdeskripsikan dengan baik," ujar Sudaryanto di Jakarta, Kamis.
Di Tanah Air, kata dia, kasus kekerasan seksual pada anak lebih kepada penggunaan media sosial seperti Facebook atau penggunaan ponsel pintar dengan fitur Blackberry Messenger.
"Hampir semua anak korban kekerasan seks melalui internet menceritakan bahwa mereka bertemu dengan seseorang melalui Facebook, yang menggoda mereka untuk bekerja di industri seks," jelas dia.
Untuk itu, lanjut dia, perlu adanya pengawasan lebih dari orang tua untuk mengawasi anak-anaknya ketika menggunakan internet. "Hal ini perlu diperhatikan karena Indonesia termasuk 10 besar kasus kekerasan seksual pada anak sejak 2005," kata dia.
Jumlah pengguna internet juga meningkat menjadi 1.000 persen dari sebelumnya 500.000 menjadi 55,2 juta orang. "Berdasarkan data ILO, terdapat setidaknya 40.000 hingga 50.000 ribu anak terjebak dalam eksploitasi seksual."
Terre des Hommes melakukan penelitian dengan sebuah karakter virtual anak perempuan Filipina yang berusia 10 tahun.
Karakter virtual yang dinamai Sweetie itu, dikendalikan oleh para peneliti. Dalam waktu 10 pekan, lebih dari 20.000 predator dari seluruh dunia meminta Sweetie untuk melakukan aksi seksual melalui webcam.
"Pada saat predator berinteraksi dengan gadis kecil virtual itu, para peneliti mengumpulkan identitas predator melalui media sosial untuk membuka samarannya," kata Penasihat Program Terre des Hommes Netherlands regional Asia Tenggara, Hanneke Oudkerk.
Para predator meminta anak untuk melakukan aksi seksual, lanjut Hanneke, hanya lima menit sejak percakapan di internet dimulai. Kajian tambahan Terre des Hommes Netherlands menunjukkan bahwa isu WCST itu tidak hanya mengenai kekerasan fisik saja, tetapi juga mengalami gejala "post-traumatic stress".
"Mereka sering merasa malu dan bersalah dengan apa yang mereka lakukan dan menunjukkan masalah dengan sikap yang mengganggu seperti mengkosumsi alkohol atau narkoba," terang Hanneke.
0 komentar:
Post a Comment