Dai pelita yang amat terang dengan segala cahaya terang dan panasnya, dan dai awan dengan air yang diperas darinya hingga banyak tercurah, tumbuhlah biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan untuk dimakan, kebun-kebun yang lebat, serta pohon-pohon yang rimbun dan bercabang-cabang.
Keserasian dan keselarasan di alam ini tidak mungkin terjadi kecuali di baliknya ada tangan yang mengatur nya, ada kebijaksanaan yang menentukan-nya dan ada iradah yang menatanya Hal ini dapat diketahui oleh setiap insan dengan had dan perasaan-nya ketika perasaannya diarahkan ke sana. Apabila ilmu dan pengetahuannya meningkat, maka akan terkuaklah keserasian dan kerapian ini sedemikian luas dengan tingkatan-tingkatannya yang menjadi-kan akal dan pikiran kebingungan dan terkagum-kagum. Juga menjadikan pendapat yang mengata-kannya sebagai kebetulan adalah pendapat yang tidak berbobot dan tidak perlu ditanggapi, sebagai-mana sikap orang yang tidak mau menghiraukan adanya tujuan dan pengaturan pada alam ini hanya-lah sikap keras kepala yang tidak perlu dihormati.
Alam ini ada penciptanya Di belakang alam ini, terdapat penataan, penentuan, dan pengaturan. Hakikat-hakikat dan pemandangan-pemandangan ini disebutkan secara beruntun di dalam nash Al-Qur'an dengan urutan seperti ini. Yaitu, dijadikannya bumi sebagai hamparan, gunung sebagai pasak bagi bumi, manusia berpasang-pasangan, tidur mereka sebagai istirahat (sesudah bergerak, berpikir, dan melakukan aktivitas), malam sebagai pakaian untuk menutup dan menyelimuti, dan siang untuk mencai penghidupan, berpikir, dan beraktivitas. Kemudian dibangunnya tujuh langit yang kokoh, dijadikannya pelita yang amat terang (matahai), dan diturunkan-nya air yang tercurah dai awan untuk menumbuh-kan biji-bijian, tumbuh-tumbuhan, dan kebun-kebun.
Keberuntunan hakikat-hakikat dan pemandang-an-pemandangan yang seperti ini mengesankan ada nya pengaturan yang cermat, mengisyaratkan ada nya pengaturan dan penentuan, dan mengesankan adanya Sang Maha Pencipta Yang Mahabijaksana lagi Mahakuasa Disentuhnya had dengan sentuhan-sentuhan yang mengesankan dan mengisyaratkan adanya maksud dan tujuan di belakang kehidupan ini. Dai sini, bertemulah konteks ini dengan beita besar yang mereka perselisihkan itu
“Dan kebun-kebun yang subur.” (ayat 16). Sudah sejak manusia hidup mengenal bercocok tanam sebagai lanjutan dari hidup berburu di darat dan di air, kian lama kian teraturlah cara manusia menanam dan kian jelaslah apa yang mereka pandang patut ditanam. Mulanya hanya sekedar mencari apa yang baik untuk dimakan. Misalnya dengan dikenal manusia gandum dan padi, lalu manusia pun membuat kebun atau sawah yang lebih teratur, karena akal yang telah lebih cerdas itu didapat ialah setelah banyak pengalaman. Lama-kelamaan didapati manusia pulalah tumbuh-tumbuhan lain yang bukan saja untuk dimakan, malahan tumbuh-tumbuhan yang pantas ditenun menjadi pakaian. Maka dikenallah kapas dan kapuk dan idas-rumin dan kulit terap. Akhirnya pandailah manusia berkebun korma, berkebun anggur, berkebun jeruk, berkebun kelapa dan bersawah dan lain-lain, sampai kita kenal manusia berkebun getah, berkebun nenas buat diambil daunnya jadi serat rami dan benang.
Dari tiga ayat yang bertali ini, ayat 14 sampai ayat 16 kita melihat usaha manusia menyesuaikan dirinya dengan alam pemberian Allah. Allah menurunkan hujan, manusia mengatur pengairan. Allah mentakdirkan biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan, manusia mengatur kebun-kebun dan sawah dan menyusunnya menurut keadaan buminya. Inilah dia kebudayaan. Sebab itu maka usaha perkebunan disebut juga Kebudayaan: Agriculture. Dan Tanah Sumatera Timur sebelum Perang Dunia Kedua yang penuh dengan perkebunan yang luas-luas itu, yang rakyatnya di bawah naungan raja-raja dan Sultan-sultan Melayu dinamai dalam bahasa Belanda: Culmurgebied, Daerah Kebudayaan!
< وَجَنَّاتٍ 'Sena kebun-kebun, " yakni taman dan kebun buah-buahan yang beraneka ragam dan dengan aneka warna serta rasa dan aroma yang berbeda-beda, meski hal itu berada dan berkumpul di satu tempat. Oleh karena itu. Allah Ta'ala berfirman : وَجَنَّاتٍ أَلْفَافًا "Dan kebun kebun yang lebat," Ibnu ' Abbas dan juga yang lain-nya mengatakan: أَلْفَافًا berarti berkumpul.
016. (Dan kebun-kebun) atau taman-taman (yang lebat) tumbuh-tumbuhannya; lafal Alfaafan bentuk jamak dari lafal Lafiifun, wazannya sama dengan lafal Syariifun yang bentuk jamaknya adalah Asyraafun.
Ayat yang lain :
0 komentar:
Post a Comment