Searching...
Select a Page
Sunday

190912_RHN-BISNIS-05-DEMO-ROHIS

 

                                         Pemudaislam.com
 
Segala puji bagi Allah. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada kekasih dan utusan Allah; yang mengajak manusia untuk menghamba kepada Allah. Amma ba’du.
Pemuda muslim yang dirahmati Allah, kembali melanjutkan pembicaraan kita seputar isu rohis sarang teroris. Pada kesempatan terdahulu kita telah menyinggung sedikit soal kunci-kunci kebahagiaan dan kesuksesan, masih ingat bukan?
Ya, kunci pertama dan paling pokok untuk bisa sukses adalah iman. Namun ada satu hal yang harus kita perhatikan, bahwasanya iman bukan semata-mata ucapan dua kalimat syahadat. Iman juga bukan semata-mata penampilan. Iman itu -sebagaimana digambarkan oleh seorang ulama tabi’in bernama Hasan al-Bashri rahimahullah- adalah apa-apa yang tertanam di dalam hati dan dibenarkan dengan amal perbuatan.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu ialah orang-orang yang apabila disebut nama Allah maka takutlah hati mereka. Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka. Dan mereka hanya bertawakal kepada Rabbnya.” (QS. Al-Anfaal: 2)
Di dalam prinsip dan kaidah dasar Ahlus Sunnah wal Jama’ah, kita mengenal bahwa iman memiliki tiga unsur pokok, yaitu:
  1. Pembenaran di dalam hati
  2. Ucapan dengan lisan
  3. Amalan dengan anggota badan

Iman bisa mengalami peningkatan dengan mengerjakan ketaatan atau meninggalkan maksiat karena Allah. Iman juga bisa mengalami penurunan akibat perbuatan maksiat, kelalaian atau berkurangnya amalan. Oleh sebab itu -bagi kita sebagai pemuda- menjaga stabilitas iman adalah program tetap yang harus selalu digalakkan.

Sahabat sekalian yang dirahmati Allah, memelihara dan memupuk keimanan butuh akan curahan cahaya ilmu dan siraman air hidayah. Dengan ilmu dan hidayah, hidup seorang hamba akan terang benderang dan penuh dengan semangat kebaikan. Kalau setiap hari kita tidak pernah bosan menyantap hidangan makanan dan minuman, maka setiap hari pula kita tidak bosan untuk memohon hidayah kepada jalan yang lurus.

Imam Ahmad rahimahullah menggambarkan, “Manusia jauh lebih membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari cukup sekali atau dua kali. Adapun ilmu dibutuhkan sebanyak hembusan nafas.”
Benarkah demikian? Ya, bukankah Allah ta’ala memerintahkan kita (yang artinya),

“Dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Al-Maa’idah: 102)

Itu artinya setiap jengkal kehidupan kita membutuhkan keimanan. Karena mati tidak di atas keimanan adalah gerbang menuju kesengsaraan abadi di akhirat. Sementara untuk menjaga dan melindungi iman dari perkara yang merusak dan membatalkannya tentu dibutuhkan senjata berupa ilmu dan amalan. Dengan demikian, ilmu sangat diperlukan untuk bisa senantiasa menjaga kelurusan iman dalam diri setiap insan.

Tidakkah kita ingat, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Bersegeralah kalian menuju amalan-amalan sebelum datangnya fitnah-fitnah laksana potongan malam yang gelap gulita. Pada pagi hari seorang masih beriman namun sore harinya menjadi kafir, atau sore hari beriman lalu pagi harinya menjadi kafir. Dia menjual agamanya demi mendapatkan secuil kesenangan dunia.” (HR. Muslim)

Dari situlah kiranya menjadi perkara yang amat-amat penting bin urgen bagi kamu-kamu yang merindukan surga dan ingin bersanding dengan bidadari jelita; untuk mengobarkan semangat menimba ilmu agama dari sumber-sumbernya yang terpercaya. Jadikanlah nafas dan detak jantung kita berhembus dan berdenyut karena mencari ridha dan keutamaan dari-Nya. Meniti jalan ilmu dan mengentaskan diri dari kebodohan pribadi dan sesama.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa menempuh jalan dalam rangka mencari ilmu [agama] niscaya Allah mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

Menjadi pemuda yang sibuk dengan kegiatan umat tidak cukup apabila tidak dibarengi dengan iman dan keikhlasan. Ingatlah perkataan sebagian salaf,

“Betapa banyak amal yang kecil menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak amal yang besar menjadi kecil gara-gara niat.”

Aduhai, betapa pentingnya niat dan keikhlasan untuk dijaga dan diluruskan…
Sebagian ulama kita juga mengatakan,

“Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih berat daripada niatku. Karena ia selalu berbolak-balik.”

Kunci Kedua; Amalan


Oke, sekarang kita lanjutkan mengupas kunci kesuksesan berikutnya, yaitu amalan. Menjadi orang yang berilmu dan mengetahui kebenaran adalah sebuah keutamaan dan anugerah. Meskipun demikian, ilmu yang berguna adalah ilmu yang membuahkan amalan. Ilmu tanpa amalan laksana pohon tanpa buah.

Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata,

“Seorang yang berilmu masih tetap dinilai bodoh selama dia belum mengamalkan ilmunya, apabila dia sudah mengamalkannya maka barulah dia benar-benar menjadi orang yang ‘alim.”

Sobat muda yang dimuliakan Allah, untuk bisa melakukan amalan, kita tentu membutuhkan taufik dan ilham dari Allah. Oleh karena itu setiap hari dalam setiap raka’at sholat, kita memohon kepada Allah hidayah; yang di dalamnya terkandung hidayah ilmu dan juga hidayah untuk beramal. Hidayah yang pertama dinamakan dengan istilah hidayah irsyad wal bayan, sedangkan hidayah kedua disebut dengan istilah hidayah taufiq wal ilham.

Untuk menggambarkan besarnya kebutuhan kita kepada hidayah, marilah kita cermati poin-poin berikut ini:

  1. Ilmu yang tidak kita ketahui apabila dibandingkan dengan ilmu yang sudah kita ketahui maka manakah yang lebih banyak? Ya, tentu ilmu yang belum kita ketahui lebih banyak. Oleh sebab itu kita masih membutuhkan hidayah untuk menerima tambahan ilmu.
  2. Ilmu yang sudah kita ketahui ini ada yang sudah kita amalkan dan mungkin juga masih banyak yang belum kita amalkan. Ini artinya, kita tetap masih membutuhkan hidayah agar bisa mengamalkan ilmu-ilmu yang belum diamalkan.
  3. Ilmu yang sudah kita amalkan tadi mungkin ada yang sesuai tuntunan dan bisa jadi masih banyak yang belum sesuai atau tepat sebagaimana yang diajarkan. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa kita pun masih memerlukan tambahan hidayah untuk bisa meluruskan amal-amal yang belum benar itu.
  4. Ilmu yang sudah kita amalkan itu pun bermacam-macam, ada yang secara kontinyu kita lakukan dan mungkin masih banyak yang tidak kita kerjakan secara kontinyu. Ini artinya, kita pun masih membutuhkan hidayah agar amal yang sudah kita lakukan ini tetap lestari dan bertahan sampai akhir kehidupan.
  5. Ilmu yang sudah kita amalkan secara kontinyu itu pun beraneka ragam, ada yang bersih dari perusak keikhlasan dan mungkin jauh lebih banyak yang terkotori oleh noda syirik, riya’ dan perusak pahala amalan. Ini artinya kita tetap membutuhkan hidayah agar amalan yang kita lakukan menjadi ikhlas
  6. Ilmu yang sudah kita amalkan dengan berupaya menjaga keikhlasan ini pun menghadapi banyak kendala dan rintangan yang menghambat keistiqomahan sehingga kita pun masih membutuhkan hidayah dari Allah untuk menjaga ilmu dan amal ini untuk tetap aman dari gangguan dan rintangan.
  7. Ilmu yang sudah kita amalkan dengan terus menjaga keikhlasan dan melindunginya dari penghambat keistiqomahan ini pun butuh untuk diperbaiki dan terus ditingkatkan kualitasnya. Untuk itu kita pun masih membutuhkan hidayah dari-Nya.

Dari situlah, kita bisa menyadari bahwa kebutuhan kita kepada hidayah Allah adalah kebutuhan yang sangat besar. Kalau kamu bisa bertahan hidup tanpa sesuap nasi selama beberapa hari dan sanggup menahan haus berjam-jam lamanya, maka tidak demikian halnya dengan hidayah dari-Nya. Setiap detik kita tidak bisa lepas darinya.

Hidup tanpa hidayah ibarat hidup tanpa cahaya, tanpa udara, dan tanpa nyawa, bahkan lebih mengerikan akibatnya. Oleh sebab itu, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Perumpamaan orang yang mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya laksana perbandingan orang hidup dengan orang yang sudah mati.” (HR. Bukhari)

Dzikir adalah amalan yang akan menjaga seorang hamba. Ibnu Taimiyah rahimahullah menggambarkan,

“Dzikir bagi hati laksana air bagi ikan. Lantas apakah yang terjadi pada seekor ikan jika dipisahkan dengan air?!”


Namun, perlu diingat oleh kita, bahwa dzikir tidak hanya terbatas amalan lisan. Bahkan segala bentuk ketaatan dan amal salih pada hakikatnya adalah dzikir kepada-Nya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sa’id bin Jubair rahimahullah,

“Hakikat dzikir adalah taat kepada Allah. Barangsiapa yang taat kepada-Nya itu berarti dia telah berdzikir kepada-Nya. Barangsiapa yang tidak taat kepada-Nya maka dia bukanlah orang yang berdzikir dengan sebenarnya, meskipun dia banyak membaca tasbih, tahlil, dan membaca al-Qur’an.”

Amal yang diterima di sisi Allah adalah amalan yang ikhlas dan sesuai dengan tuntunan-Nya. Sebagaimana firman Allah (yang artinya),

“Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Bicara soal amalan, banyak diantara anak muda dan remaja masa kini yang agak alergi dengan istilah amalan. Yang mereka kenal adalah istilah aksi dan unjuk diri. Seolah-olah beramal adalah kebutuhan orang yang sudah tua dan bau tanah, seperti yang sering diungkapkan oleh sebagian orang. Bagi anak muda -apalagi di masa globalisasi seperti sekarang ini- yang terpenting adalah menciptakan aksi dan unjuk diri.

Apa itu aksi dalam pandangan mereka? Ya, kurang lebih segala bentuk aktifitas yang bisa menyalurkan semangat muda mereka dalam hal keduniaan. Ada yang hobinya panjat tebing. Ada yang hobinya main musik. Ada yang hobinya demonstrasi. Ada yang hobinya pacaran. Ada yang hobinya tawuran. Ada yang hobinya kebut-kebutan. Dan seabrek aksi lainnya.

Itulah ekspresi dan sarana guna unjuk diri menurut mereka. Bukan anak muda kalau tidak punya minat dan semangat dalam perkara semacam itu. Seolah-olah masa muda menjadi ajang kebebasan dan pelepasan segala keinginan. Akhirnya, sholat pun ditelantarkan. Menimba ilmu agama menjadi barang yang paling ditakuti. Membaca buku ulama pun menjadi agenda yang seolah tidak pernah masuk dalam jadwal kegiatan. Sholat berjama’ah di masjid pun hanya menjadi agenda seminggu sekali. Jadilah mereka pemuda yang jauh dari keteduhan masjid dan kesejukan suasana majelis ilmu. Hati mereka tidak bergantung di masjid, tapi berpindah ke lain tempat; kafe, mall, bioskop, game center, dll.

Padahal, di sekolah, di madrasah, di kampus, mereka juga mengenal pelajaran agama Islam dan mata kuliah agama Islam. Namun, seolah-olah cahaya yang terpancar dari dua jam pelajaran agama atau dua SKS mata kuliah agama ini pudar dan terkalahkan oleh gelapnya alam pikiran materialis dan gaya hidup serba boleh. Sampai-sampai sering kita dengar slogan aneh dari sebagian orang untuk mencetak generasi muda dengan ‘otak jerman dan hati mekah’. Kalau seperti itu slogannya, janganlah anda heran jika yang terbentuk sosok muda-mudi dengan busana ‘atasan ala mekah dan bawahan ala amerika’.

Jangan heran pula, jika banyak orang sudah menganut model pemikiran; ‘agama itu urusan pribadi, tidak boleh dicampuri orang lain, adapun urusan umat dan bangsa ini hanya bisa dituntaskan dengan demokrasi. Tuhan tidak boleh turut campur dalam ruang publik dan ranah politik. Tuhan tidak boleh mengusik hak manusia untuk menjadi ateis alias tidak percaya Tuhan.’ Itulah sampah-sampah pemikiran yang coba ditanamkan kepada generasi muda Islam masa kini.

Hal ini semakin diperparah dengan munculnya sebagian tokoh yang dianggap cerdas dan intelek yang melontarkan berbagai pernyataan dan melakukan tindakan-tindakan yang justru menumbuhkan kerancuan dan kesalahpahaman di tengah umat. Mereka membawa slogan kebebasan dan pembaharuan, namun pada hakikatnya yang mereka usung adalah kebekuan berpikir, kemunduran akhlak dan kesesatan.

Pada kondisi-kondisi seperti inilah dibutuhkan sosok pemuda Islam yang sadar akan tujuan dan tugas hidupnya. Para pemuda Islam yang menyadari bahwa kemuliaan dan keselamatan hanya bisa diraih dengan kembali kepada kemurnian Islam. Allah ta’ala berfirman (yang artinya),

“Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS. Thaha: 123).

Kepada Allah jua kita berharap dan menyandarkan segala persoalan.

 

0 komentar:

Post a Comment

« »
Get widget