"Katakanlah kebenaran walaupun itu pahit" (H.R.Ahmad. Ibnu Hibban. Al Hakim)
Dalam beberapa kitab hadits. Hadits ini ada pada bab tentang Tijarah (perdagangan) bukan pada bab untuk da'wah ( bisa dikoreksi ustadz yedi)
Asbabul wurud nya ketika suatu saat ketika RasuluLlah SAW. Bertemu dengan pedagang buah. Dan pedagang itu sedang dalam keadaan yang galau. Ketika ditanya oleh RasuluLlah Saw. Ada apakah gerangan. Maka pedagang buah itu menjawab " bahwa ia biasanya memesan buah dari si fulan, tp kali ini ia kecewa karena kualitasnya tidak bagus. Lalu RasuluLlah saw. Menjawab. " Katakanlah kebenaran walau itu pahit" yang maksudnya.. katakanlah kalau buah yang kamu jual itu tidak bagus kualitasnya walau itu pahit. Jadi begitulah awal mulanya ada hadits tersebut..
Hadits ini begitu dipegang teguh oleh seorang ulama bernama Muhammad Ibnu Sirin yang berjualan minyak zaitun dan dituliskan kembali oleh Mas Salim di Dalam Dekapan Ukhuwwah
Muhammad ibn Sirin, ‘alim besar murid Anas ibn Malik rodhiyallohu ‘anhu itu terpekik. “ Inna lillahi wa inna ilaihi rooji’uun ,” gumamnya. Dia baru saja membuka salah satu dari empat puluh kaleng besar minyak zaitun
yang dikulaknya dari pemasok dengan berhutang. Tak tanggung-tanggung, nilai akadnya kali ini 40.000 dirham. Yang membuat dia terkejut di pagi itu adalah bahwa di dalam kaleng pertama yang dibukanya, dia menemukan bangkai tikus.
“Seluruh minyak ini,” ujarnya kepada seorang pelayan, “Dibuat di tempat penyulingan yang sama. Aku khawatir bahwa najis bangkai ini telah mencemari keseluruhan minyak. Maka buanglah semuanya!”
Dan saat itu modal di tangan Muhammad ibn Sirin sedang nihil. Rencananya, untuk pembayaran minyak itu dia akan memakai hasil penjualan nantinya. Maka dengan peristiwa ini, prakiraannya meleset. Dan sang
tengkulak pun mengadukannya ke pengadilan.
Muhammad ibn Sirin ridho dengan pemidanaannya.
Hakim memutuskan, dia harus dijebloskan ke penjara. Penduduk kota merasa berat dan sedih mendengar vonis yang dijatuhkan pada ulama yang sangat terhormat itu.
Ya, beliau harus menanggung hukuman bukan karena salah atau dosa. Melainkan justru karena sifat waro’ -nya yang membuat beliau sangat menjaga diri dari syubhat.
Beliau mengatakan yang benar meski pahit.
Para warga mengantar Muhammad ibn Sirin ke penjara dengan linangan air mata.
Di dalam penjara, sipir yang bertugas juga merasa iba padanya. Tiap hari dia menyaksikan Muhammad ibn Sirin
menangis ketika beristighfar, sholat, dan membaca al-Qur’an. “Wahai Syaikh,” satu hari dia menawarkan, “Bagaimana seandainya kuizinkan engkau untuk pulang ke rumahmu setiap malam tiba dan datanglah kembali ke penjara ini seusai shubuh?” “Jika engkau melakukan itu,” kata Muhammad ibn Sirin sambil tersenyum, “Engkau akan menjadi seorang yang khianat. Demi Alloh, aku ridho berada di tempat ini.”
Tapi satu saat sang penjaga mengatakan bahwa Gubernur dan Pengadilan memerintahkan dan memberinya izin untuk keluar guna mengurus jenazah Anas ibn Malik sesuai dengan wasiat shohabat Rosululloh tersebut. “Aku berada di sini,” jawab Muhammad ibn Sirin, “Bukan karena Gubernur dan Pengadilan. Melainkan karena hutangku pada seorang pedagang. Tolong sampaikan padanya perkara ini. Jika dia mengizinkan aku keluar untuk mengurus jenazah guruku, insya Alloh aku akan melakukannya. Dan sampaikan padanya rasa syukur dan terima kasihku.”
Maka pedagang itu pun dimintai izin, dan dia merelakan. Seusai mengurus jenazah gurunya, Muhammad ibn Sirin kembali ke penjara. Dia selesaikan seluruh sisa hukumannya dengan penuh kesabaran dan tawakal kepada Alloh.
“Katakan yang benar,” begitu Rosululloh bersabda dalam riwayat al-Baihaqi dari Abu Dzar al-Ghiffari, “Meskipun pahit.”
Beberapa ulama fiqh memasukkan hadits ini
dalam pembahasan Kitaabut Tijaaroh , kitab
perdagangan. Khususnya bab tentang para pedagang. Konteksnya adalah, agar para pedagang berlaku jujur dan terbuka terkait keadaan barang dagangannya.
Sikap ini, mengatakan yang benar meski pahit, sungguh beresiko tinggi bagi sang niagawan. Jika yang bersangkutan mendapatkan barang yang diambilnya dengan harga beli tinggi ternyata tak sesuai dengan kualitas yang dibayangkannya lalu dia harus berkata jujur dan terbuka pada para pembelinya, tentu saja dia dimungkinkan tak mendapatkan keuntungan, merugi, dan bahkan bangkrut. Padahal, bisa saja dia telah ditipu sebelumnya sehingga dia mau membeli barang tersebut. Sedangkan ketika akan menjualnya, dia terbentur kejujuran yang harus dijunjungnya.
Itulah Islam. Dengan kemuliaannya selalu ingin menjaga nilai-nilai kebaikan. Kejujuran para pedagang itu insya Alloh akan memutuskan matarantai ketertipuan sekaligus menjaga kepercayaan masyarakat terhadap para
penyedia barang dan jasa. Maka para pedagang itu hendaknya mengatakan yang benar meski pahit.
Dalam kasus Muhammad ibn Sirin, yang terjadi memang bukan penipuan. Tetapi dia juga tak ingin para pembelinya menanggung keraguan atas najis tidaknya minyak itu. Dia sebenarnya punya banyak pilihan.
Misalnya dengan menimpakan kesalahan pada
pemasoknya. Atau dengan hanya membuang satu kaleng yang didapati bangkai di dalamnya dan tetap menjual yang lain. Tetapi Muhammad ibn Sirin mencontohkan jalan yang lebih tinggi dari sekedar mengatakan yang benar meski pahit. Dia menjaga amanahnya dari ancaman syubhat yang paling halus. Kita mendapat pelajaran berharga dari sabda Sang Nabi dalam riwayat Imam al-Baihaqi ini. Jika para pedagang mengatakan yang benar meski pahit, dalam kasus mereka, bagi siapakah kepahitan yang dimaksud oleh hadits ini? Benar. Kepahitan itu bagi yang mengucapkannya. Katakan yang benar, meski dengan demikian kita yang mengucapkannya merasa sakit, menanggung rugi, dan bahkan ditimpa bangkrut.
Kepahitan itu sama sekali bukan bagi yang
mendengarnya. Sebab andai begitu, sabda beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mungkin akan berbunyi, “Dengarkanlah yang benar, meskipun pahit.” Katakan yang benar, meski pahit. Bagi kita yang mengucapkannya.
0 komentar:
Post a Comment